Jumat, 17 April 2015

COLLABORATIVE LEARNING

1.    PENGERTIAN COLLABORATIVE LEARNING
Berkolaborasi berarti bekerja bersama-sama dengan orang lain. Dalam praktiknya, pembelajaran kolaboratif berarti peserta didik bekerja secara berpasang-pasangan atau dalam kelompok kecil untuk mencapai tujuan pembelajaran bersama. Pembelajaran kolaboratif berarti belajar melalui kerja kelompok, bukan belajar dengan bekerja sendirian. (Barkley, dkk. 2012:4)
Menurut Maridi (2012) dalam pembelajaran kolaboratif siswa belajar berpasangan atau membentuk kelompok kecil dalam mencapai tujuan. Mereka membentuk kelompok belajar, tidak belajar sendiri. Collaborative learning dirancang untuk melaksanakan belajar tuntas. Pembelajaran tidak akan berhenti jika masing-masing siswa tidak memahami tujuan atau kompetensi pembelalajaran. Dalam mencapai tujuan siswa melakukan konsultasi atau sharing dengan guru.
Konsep pembelajaran kolaboratif adalah suatu metode pembelajaran yang berpotensi untuk memenuhi tantangan itu, dan dapat menawarkan sebuah cara penyelesaian tentang bagaimana berbagai masalah tersebut dapat dipecahkan dengan melibatkan keikutsertaan partisipan terkait secara kolektif dalam suatu kelompok. Kelompok pebelajar seperti ini melakukan pembelajaran secara berkolaborasi sesuai dengan masing-masing kompetensinya. Melalui pola komunikasi dan pertukaran pemikiran, cara pandang, dan hasil telaah, kelompok seperti ini dapat mengurangi solusi parsial dan meningkatkan kualitas keutuhan kelompok. Solusi parsial tidak tepat untuk sejumlah waktu dan banyak tempat, tetapi dibutuhkan bentangan spektrum solusi holistik yang bergantung pada kesesuaian waktu dan tempat. (Idris, 2012:2)
Fitur pertama dari pembelajaran kolaboratif adalah desain yang disengaja. Lazimnya, para pengajar hanya meminta para peserta didik untuk membentuk kelompok dan kemudian bekerja. Dalam pembelajaran kolaboratif, para pengajar merancang desain kegiatan pembelajaran untuk peserta didik. Pengajar dapat melakukan ini dengan cara memilih kegiatan-kegiatan yang belum terstruktur atau dengan menciptakan struktur sendiri. (Barkley, dkk. 2012:4)
Fitur kedua yang tidak kalah penting adalah kerja sama. Dalam hal ini setiap anggota kelompok harus bekerja sama secara aktif untuk meraih tujuan yang telah ditentukan. Seandainya hanya ada satu orang yang menyelesaikan tugas kelompok sementara anggota lainnya hanya melihat, cara seperti ini tidak bisa disebut sebagai pembelajaran kolaboratif. Semua anggota kelompok harus memiliki kontribusi yang setara, baik ketika mereka mengerjakan tugas yang berbeda-beda dalam sebuah proyek besar. Namun keterlibatan yang setara pun masih belum cukup. (Barkley, dkk. 2012:4)
Fitur ketiga dari pembelajaran kolaboratif adalah terjadinya proses pembelajaran yang penuh makna. Ketika peserta didik bekerja sama dalam sebuah tugas kolaboratif, mereka harus bisa mendapatkan peningkatan pengetahuan atau semakin memahami kurikulum. Tugas yang diberikan kepada kelompok harus terstruktur sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Dengan demikian, pembelajaran kolaboratif adalah perpaduan dua atau lebih peserta didik yang bekerja bersama-sama dan berbagi beban kerja secara setara dan bersama-sama mewujudkan hasil-hasil pembelajaran yang diinginkan. (Barkley, dkk. 2012:4)
Kesimpulan yang dapat diambil pembelajaran kolaboratif adalah bekerja sama secara bersama-sama untuk mencari solusi terhadap materi pembelajaran. Tujuan dari pembelajaran kolaboratif adalah mengembangkan kemampuan berfikir sendiri dan juga mengurangi watak idealisme.

2.    MENGAPA COLLABORATIVE LEARNING DIGUNAKAN
Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology for instruction), pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif para siswa dan meminimalisir perbedaan-perbedaan antar individu. Pembelajaran kolaboratif telah menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu, yaitu (Idris, 2012:20) :
a)    Realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas kolaboratif dalam kehidupan di dunia nyata.
b)   Menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan pembelajaran bermakna.
Pembelajaran kolaboratif digunakan di dalam kelas memberikan kontribusi positif terhadap pendidikan peseta didik. Ada ketertarikan yang besar terhadap dua keluaran penting yaitu (Barkley, 2012:24):
a)        Kontribusi yang diberikan oleh pembelajaran kelompok terhadap penguasaan konten, berpikir kritis, penyelesaian masalah, dan atribut kognitif lainnya.
b)        Kontribusi yang diberikan pada pembelajaran kelompok terhadap perkembangan keterampilan interpersonal dan faktor-faktor non kognitif lainnya yang dihargai dalam karier dan kehidupan sebagai warga negara.

3.    KARAKTERISTIK COLLABORATIVE LEARNING
Dijelaskan dalam (Barkley, dkk. 2012:13) karakteristik dari collaborative learning adalah sebagai berikut:
a)    Interdepensi positif yaitu keberhasilan dari masing-masing individual berkaitan dengan keberhasilan kelompok. Individual akan mencapai tingkat keberhasilan yang sama dengan tingkat keberhasilan kelompok. Sehingga peserta didik termotivasi untuk membentuk satu sama lain untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok.
b)   Interaksi yang mendukung, yaitu para peserta didik diharapkan untuk saling mendukung dan membantu satu sama lain. Setiap anggota berbagi sumber daya dan dukungan serta mendukung usaha satu sama lain untuk belajar.
c)    Akuntabilitas individual dan kelompok, yaitu setiap kelompok memiliki rasa tanggung jawab untuk mencapai tujuannya. Setiap anggota bertanggung jawab untuk memberikan kontribusinya terhadap pekerjaan; para peserta didik dinilai secara individual.
d)   Pengembangan keterampilan kerja tim, yaitu para peserta didik dituntut untuk mempelajari materi (tugas kerja) akademis dan juga memperlajari keterampilan interpersonal dan kelompok kecil yang dibutuhkan untuk dapat berfungsi sebagai bagian dari sebuah kelompok (kerja tim). Keterampilan kerja tim harus diajarkan “dengan sama bertujuan dan tepatnya dengan keterampilan akademik”.
e)    Pemrosesan kelompok, yaitu para peserta didik harus belajar evaluasi produktivitas kelompok mereka. Mereka harus mendiskripsikan tindakan-tindakan anggota yang seperti apakah yang paling membantu dan tidak membantu, dan mereka juga harus membuat keputusan mengenai apa saja yang harus diteruskan dan diubah.

4.    SINTAK PADA COLLABORATIVE LEARNING
Menurut Idris (2012:22) langkah-langkah prosedur pembelajaran kolaboratif dijelaskan sebagai berikut:
a)    Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan belajar dan membagi tugas sendiri-sendiri.
b)   Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan menulis.
c)    Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi mengidentifikasi, mendemontrasikan, meneliti, menganalisis, dan memformulasikan jawaban-jawaban tugas atau masalah dalam LKS atau masalah yang ditemukan sendiri.
d)   Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan masalah, masing-masing siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara lengkap.
e)    Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (selanjutnya diupayakan agar semua kelompok dapat giliran ke depan) untuk melakukan presentasi hasil diskusi kelompok kolaboratifnya di depan kelas, siswa pada kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi. Kegiatan ini dilakukan selama lebih kurang 20-30 menit.
f)    Masing-masing siswa dalam kelompok kolaboratif melakukan elaborasi, inferensi, dan revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan dikumpulkan.
g)   Laporan masing-masing siswa terhadap tugas-tugas yang telah dikumpulkan, disusun perkelompok kolaboratif.
h)   Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada pertemuan berikutnya, dan didiskusikan.
Menurut Maridi (2012) metode pengembangan sistem pembelajaran dan implementasinya dapat diuraikan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a)    Tahap Awal atau Sosialisasi
Pada tahap ini dilakukan sharing dengan guru lewat forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) mata pelajaran untuk mendiskusikan seputar pelaksanaan pembelajaran di sekolah
b)   Tahap Identifikasi Masalah Dalam Pelaksanaan
Dari hasil pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung, nampak para peserta didik cenderung pasif dan kurang bergairah. Pendekatan yang dilakukan oleh pendidik lebih bersifat kognitivisme, sehingga para peserta didik kurang banyak terlibat dalam membangun teori mengenai strategi pembelajaran. Hasil pembelajaran diidentifikasikan kurang bermakna disebabkan implementasi model pembelajaran yang telah teridentifikasi tersebut. Kemudian digunakan model collaborative learning sebagai alternatif inovasi pembelajaran strategi belajar mengajaar.
c)    Tahap Perencanaan dan Penyusunan Model Pembelajaran
Pada tahapan ini pendidik menyusun perangkat model pembelajaran. Perangkat ini meliputi perencanaan program media pendukung yang digunakan, administrasi, dan supersive, serta instrumen evaluasi pelaksanaan pembelajaran mata pelajaran.
d)   Tahap pelaksanaan
Model collaborative learning yang telah siap dioperasikan, kemudian dicobakan. Hal ini diawali dengan penjelasan singkat di kelas, selanjutnya para peserta didik pergi menuju sekolah target untuk berkolaborasi melakukan pengamatan terhadap kegiatan pendidik yang sedang mengajar.
e)    Tahap Evaluasi dan Refleksi
Tahap ini dilakukan terhadap pelaksanaan proses pembelajaran yang dilakukan, baik di lapangan maupun di kelas. Hasil pembelajaran diperoleh dengan membuat instrumen evaluasi dan melaksanakan ujian/kuis/tes. Dari hasil tersebut diketahui kebermaknaan hasil belajar dengan model yang digunakan. Keseluruhan hasil belajar dijadikan bahan refleksi model collaborative learning yang telah dilaksanakan.
f)    Tahap Tindak Lanjut
Tindak lanjut berorientasi kepada hasil refleksi yang telah dilakukan, dimana model collaborative learning telah diyakini sebagai model pembelajaran yang dipilih untuk mata pelajaran dengan tahap siklus berikutnya, sehingga ada peningkatan kualitas pembelajaran dan kebermaknaan pemahaman mata pelajaran.

5.    ANALISIS LANDASAN YANG DIGUNAKAN
a)   Landasan Neurologis
Riset terkini yang dilakukan pada otak oleh para ilmuwan syaraf menambahkan dimensi ke dalam pengetahuan tentang pembelajaran. Anak dilahirkan dengan sekitar 100milyar neuron yang terkandung dalam otaknya. Sepanjang hidup mereka akan menumbuhkan otak dengan terus menerus membuat koneksi-koneksi di dalam sirkuit otak melalui pengalaman dan pembelajaran. Kerja otak dalam pembelajaran kolaboratif adalah “melalui sebuah proses yang mirip dengan persaingan, sehingga otak akan mengeleminasi koneksi-koneksi atau sinapse-sinapse yang jarang atau tidak pernah digunakan” (Nash, 1997:50 dalam Barkley, dkk. 2012:17). Para peneliti menemukan bahwa anak-anak yan tidak mendapat stimulasi, cenderung memiliki otak yang 20-30 persen lebih kecil dibandingkan ukuran normal otak anak dengan usia yang sama. Dengan adanya pembelajaran kolaboratif yang mengharuskan anak aktif dan konstruktif serta mempunyai daya sosial maka otak anak akan berkembang.

b)   Landasan Kognitif
Sains kognitif modern mempostulasikan sebuah struktur pikiran yang dikenal sebagai skema atau dalam bentuk pluralnya dikenal sebagai skemata. Sebuah skema adalah, sebuah struktur kognitif yang terdiri atas banyak fakta, ide, dan asosiasi yang diorganisir ke dalam sebuah sistem hubungan yang bermakna.
Apa yang dapat dipelajari oleh peserta didik tergantung sampai batasan yang lebih luas dari yang diasumsikan sebelumnya, pada apa yang mereka ketahui. Akan lebih mudah untuk mempelajari sesuatu apabila kitas sudah memiliki beberapa latar belakang mengenai hal tersebut sebelumnya dibandingkan ketika harus mempelajari sesuatu yang benar-benar baru.
Menurut Barkley dkk (2012:19) landasan kognitif yang digunakan dalam pembelajaran kolaboratif disebutkan sebagai berikut:
1)   Pembelajaran adalah memperoleh informasi atau mengetahui lebih banyak.
2)   Pembelajaran adalah mememorikan atau menyimpan informasi.
3)   Pembelajaran adalah memperoleh fakta-fakta dan keterampilan yang dapat digunakan.
4)   Pembelajaran adalah memahami atau memaknai berbagai macam bagian informasi.
5)   Pembelajaran melibatkan pengertian atau pemahaman terhadap dunia dengan menginterpretasikan kembali pengetahuan.
Landasan kognitif berkaitan dengan terjadinya pertukaran konsep antar anggota kelompok pada pembelajaran kolaboratif. Sehingga dalam suatu kelompok akan terjadi proses transformasi ilmu pengetahuan pada setiap anggota.

c)    Landasan Filosofis
Ide pembelajaran kolaboratif bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. (Idris, 2012:14)
Dewey menganjurkan agar dalam lingkungan belajar guru menciptakan lingkungan sosial yang dicirikan oleh lingkungan demokrasi dan proses ilmiah. Tanggung jawab utama para guru adalah memotivasi siswa untuk bekerja secara kolaboratif dan memikirkan masalah sosial yang berlangsung dalam pembelajaran. Di samping upaya pemecahan masalah di dalam kelompok kolaboratif, dari hari ke hari siswa belajar prinsip demokrasi melalui interaksi antar teman sebaya. Dalam konteks sosial, secara teoretik pembelajaran kolaboratif berfungsi sebagai laboratorium demokrasi bagi siswa untuk menjadi warga negara demokratis dengan berinteraksi seputar isu-isu bermanfaat melalui pembentukan visi tentang masyarakat yang baik. Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam pendekatan group-investigation untuk pembelajaran kolaboratif (Idris, 2012:15).

d)   Landasan Sosial
Landasan sosial yang diaplikasikan pada pembelajaran kolaboratif adalah peserta didik dikelompokkan ke dalam kelompok dengan berbagai macam latar belakang, tetapi cukup untuk membentuk sebuah dasar umum untuk berkomunikasi. Semua peserta didik dipaparkan pada konsep-konsep dan pemahaman yang berada dalam kemampuan penangkapan mereka, tetapi yang belum menjadi bagian dari pemahaman pribadi mereka. Hal tersebut memungkinkan masing-masing perserta didik untuk belajar dari peserta didik lainnya sebuah konsep yang berada di luar tingkat perkembangan mereka. Sehingga, secara teoritis mahasiswa dengan tingkat akademis yang buruk akan mampu belajar lebih banyak dari peserta didik yang lebih siap dan demikian pula sebaliknya (Barkley, dkk 2012:20).
Pada landasan ini terlihat adanya interaksi sosial antar anggota yang akan membantu perkembangan individu dan meningkatkan sikap saling menghormati pendapat semua anggota kelompok.


Daftar Rujukan
Barkley, Elizabert. 2012. Collaborative Learning Techniques. Bandung: Nusa Media
Idris, Muhammad. 2012. Model-Model Pembelajaran Kolaborasi dan Strategi Pengembangannya. (online), (https://www.academia.edu/4276716/MUHAMMAD_IDRIS_MA_PEMBELAJARAN_KOLABORASI), diakses pada tanggal 12 April 2015
Maridi. Penerapan Model Collaborative Learning. (online), (http://download.portalgaruda.org/article.php?article=107157&val=4058), diakses pada tanggal 12 April 2015
Sumarli, Eka Murdani. Model Pembelajaran Kolaboratif dengan Tutor Sebaya pada Pokok Bahasan Rangkaian Seri-Paralel Hambatan Listrik. (online), (http://pf.uad.ac.id/wp-content/uploads/09-Model-Pembelajaran-Kolaboratif-Sumarli.pdf), diakses pada tanggal 17 April 2015

MODEL PEBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING



PROBLEM BASED LEARNING
(PBL)
1.      Defenisi Problem Based Learning
Problem Based Learning pertama kali diperkenalkan pada awal  tahun 1970-an di Universitas Mc.Master Fakultas Kedokteran Kanada, sebagai satu upaya menemukan solusi dalam diagnosis dengan membuat pertanyaan-pertanyaan sesuai situasi yang ada.  Kurikulum PBM memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja kelompok dan keterampilan interpersonal dengan lebih baik dibanding pendekatan yang lain. Model Problem Based Learning atau pembelajaran berdasarkan masalah merupakan model  pembelajaran yang  didesain menyelesaikan masalah yang disajikan. Arends (2008:41), Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada peserta didik,yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan.
Menurut Mukhadis (2006) Problem Based Learning  merupakan strategi pembelajaran dalam konteks kehidupan nyata yang berorientasi pemecahan masalah dengan memanfaatkan berpikir kritis, sintetik, dan praktikal melalui pemanfaatan multiple intelligences dengan membiasakan belajar ‘bagaimana belajar”.Problem Based Learning merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran.
Moffit (Depdiknas, 2002:12) mengemukakan bahwa Problem Based Learning  merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Barrow (Taufik Amir; 2010) menyatakan Problem Based Learning merepresentasikan metode  belajar yang “Learn-by-doing” dan akar dasarnya adalah apprenticeship (pemagangan),   dimana pemula   mempelajari   pengetahuan   dan ketrampilan  dari  bidang  yang  dipilihnya  dengan  megerjakan  sesuatu  dibawah  panduan pengajaran  seorang  ahli,  sampai  ia  nantinya  mampu  menghasilkan  karya  sendiri.
Pierce dan Jones (Howay, 2001 ; 69) Problem Based Learning ; Siswa membangun konsep atau prinsip dengan kemampuannya sendiri yang mengintegrasikan keterampilan berpikir dan pengetahuan yang sudah dipahami dan sebelumnya. Trianto (2010:90), Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan penyelesaian nyata dari permasalahan yang  nyata. Sama halnya menurut Yatim Riyanto (2009:288), model Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang dapat  membantu peserta didik  untuk aktif dan mandiri dalam mengembangkan kemampuan berpikir memecahkan masalah melalui pencarian data sehingga diperoleh solusi dengan rasional dan autentik.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat di simpulkan bahwa Problem Based Learning merupakan suatu pendekatan atau strategi pembelajaran inovasi dalam konteks dunia nyata (autentik) yang berorientasikan peserta didik mampu memiliki konsep esensial atau pengetahuan sendiri dengan mengintegrasikan kemampuan berpikir kritis, sintetik, dan praktikal melalui pemanfaatan multiple intelligences dengan membiasakan belajar ‘bagaimana belajar” (mandiri) serta terampil dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupannya.
2.      Alasan Penggunaan Model Pembelajaran Problem Based Learning
Model Problem Based Learning atau pembelajaran  berdasarkan  masalah merupakan model pembelajaran yang didesain  menyelesaikan  masalah  yang  disajikan, yang telah  dikenal  sejak  zaman Jonh Dewey.  Dewey  mendeskripsikan pandangan  tentang  pendidikan  dengan  sekolah  sebagai  cermin  masyarakat  yang  lebih  besar  dan  kelas  akan  menjadi  laboratorium  untuk  penyelidikan dan penuntasan masalah kehidupan nyata (Arends, 2008:46). Ketika  diperhadapkan   kepada   kehidupan   atau   kenyataan di lapangan  kurang  mampu  melihat  masalah,  tidak  mampu  mengidentikkan dengan  kerangka  berfikir  apalagi  untuk  mencari  solusinya,  sehingga  ia mudah  terombang  ambing  bahkan dapat  terbawa  arus  dalam  kukungan masalah. Sisi lain bahwa kehidupan yang identik dengan masalah yang semakin komplek dapat menjadi ajang pembelajaran, dimana dapat melatih dan mengembangkan kejelian, kepekaan dan kemampuan untuk melihat dan menyelesaikan masalah dengan membangun kerangka berfikir.
Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri pebelajar. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan disekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan....”,“mengapa bisa terjadi....”, “bagaimana mengetahuinya...” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri pebelajar maka motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan pebelajar tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya.
Dari paparan tersebut dapat diketahi bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong siswa atau mahasiswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya. Sehingga Problem Based Learning sebagai suatu pendekatan yang dipandang dapat memenuhi keperluan tersebut, oleh kerena itulah salah satu model pembelajaran yang menawarkan dan membawa peserta didik ke wilayahnya sendiri untuk mengkonstruksi diri dari  dalam  dengan  sebuah  wadah  belajar  dikehidupan  nyata. Peserta didik harus mengambil peran aktif dalam memilih, mengelolah informasi, mengkonstruksi hipotesisnya, memutuskan kemudian merefleksikan pengalamannya untuk menentukan bagaimana pengetahuan itu dapat mereka transfer ke berbagai situasi yang lain.
3.      Karakteristik Model Pembelajaran Problem Based Learning
Problem based learning dengan pengharapan peserta didik belajar dilingkungan   kecil   atau   kelompok   kecil  akan   membantu   perkembangan masyarakat belajar.  Bekerja dalam  kelompok  juga membantu mengembangkan karakteristik esensial yang dibutuhkan untuk sukses setelah siswa tamat belajar seperti dalam berkomunikasi secara verbal, berkomunikasi secara tertulis dan keterampilan membangun team kerja. Dari berbagai model pembelajaran yang mulai  dikembangkan itu memiliki masing-masing karakteristik. Para pengembang   pembelajaran problem   based   learning (Krajcik, Blumenfeld, Marx,  Soloway,  Slavin Maden,  Dolan,  Wasik,  Cognition  dan  Teknology  Group  at  Vanderbit) telah mendeskripsikan karakteristik sebagai berikut (Arends, 2009:42): Karakteristik sebagai berikut: (1) Driving question or problem, (2) Interdisciplinary  focus,  (3)  Authentic investigation,  (4)  Production  of  artifacts  and exhibits, and (5) Collaboration.
Tabel 1. Karakteristik Problem Based Learning
No
Karakteristik
Deskripsi
1


Driving   Question   or   Problem,
(Pengajuan pertanyaan atau masalah)
Pembelajaran Problem  Based  Learning mengorganisasi pembelajaran dengan  diseputar  pertanyaan  dan  masalah  yang  kedua-duanya  secara sosial   penting   dan   secara pribadi bermakna bagi peserta   didik. Pengajuan   situasi   kehidupan   nyata   autentik untuk menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.
2
Interdisciplinary  focus
(Berfokus pada interdisipliner)
Meskipun Problem  Based  Learning dipusatkan  pada  subjek  tertentu atau  mata  pelajaran  tertentu,  akan  tetapi  masalah  yang  dipilihkan benar-benar nyata agar
3




Authentic investigation
(Investigasi autentik)
Problem based learning mengharuskan   siswa untuk melakukan investigasi autentik atau peyelidikan autentik untuk menemukan solusi riil. Mereka harus menganalisis,  mendefinisikan   masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksprimen (bila memungkinkan) membuat inferensi dan menarik kesimpulan.
4
Production  of  artifacts  and exhibits
(Menghasilkan produk karya atau memamerkan)
Problem  based  learning menuntut  siswa  untuk  menghasilkan  produk tertentu  dalam  bentuk  karya  nyata  atau artefak dan  peragaan  yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temuka. Produk tersebut dapat berupa transkrip debat, debat bohong-bohongan,  dan  dapat  juga  dalam  bentuk  laporan,  model fisik, video, maupun program    computer. Karya   nyata    itu    kemudian di demonstrasikan  kepada  teman -temannya  yang lain  tentang  apa  yang telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah.
5
Collaboration
(Kolaborasi)

Problem  based  learning di cirikan  oleh  siswa yang  bekerjasama  satu sama  lain,  paling  sering  secara  berpasangan  atau  dalam kelompok - kelompok kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk keterlibatan secara  berkelanjutan  dalam  tugas - tugas  kompleks  dan  meningkatkan kesempatan untuk melakukan  penyelidikan  dan dialog bersama dan untuk mengembangkan berbagai keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.

Berdasarkan  uraian  dari  tabel di atas,  dapat  ditarik  kesimpulan  bahwa karakteriktik model  pembelajaran  berdasarkan  masalah  adalah  menekankan pada  upaya  penyelesaian  permasalahan.  Peserta  didik  dituntut  aktif  untuk mencari  informasi  dari  segala  sumber  berkaitan  dengan  permasalahan  yang dihadapi.  Hasil  analisis  peserta  didik  nantinya  digunakan  sebagai   solusi permasalahan dan dikomunikasikan.
4.      Sintaks Model Pembelajaran Problem Based Learning
Konsep tentang Problem Based Learning adalah sangat jelas, tidak rumit dan  mudah  untuk  menangkap  ide-ide  dasar  yang  terkait  dengan  model  ini. Namun bagaimanapun juga pelaksanaan  model itu secara  efektif  lebih  sulit. Penerapan   model   pembelajaran  ini  membutuhkan   banyak  latihan dan mengharuskan  untuk  mengambil  keputusan-keputusan  khusus  pada  saat  fase perencanaan, interaksi dan fase setelah pembelajarannya.  

Menurut Arends (dalam Abbas, 2000:13),  pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah memenuhi kriteria  sebagai berikut.
a.       Autentik. Yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan  dunia nyata siswa dari pada berakar pada prinsip-prinsip  disiplin ilmu tertentu.
b.      Jelas. Yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak  menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya  menyulitkan penyelesaian siswa.
c.       Mudah dipahami. Yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat  sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
d.      Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Yaitu masalah  yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang  tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus  didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
e.       Bermanfaat. Yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang  bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.
1.      Berfokus pada keterkaitan antar disiplin
Meskipun pengajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada  mata pelajaran tertentu (IPA, Matematika, Ilmu-ilmu Sosial), masalah yang akan diselidiki telah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
2.      Penyelidikan autentik
Pengajaran berbasis masalah siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika  diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan kesimpulan. Metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah  yang sedang dipelajari.
3.      Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan  produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan, model fisik, video atau program komputer.
Pengajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa bekerja sama  satu sama lain (paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil). Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berfikir.
Menurut Arends (2008:57), Sintaks untuk model Problem Based Learning (PBL) dapat disajikan pada Tabel berikut ;
Tabel 2. Sintaks Model Pembelajaran Problem Based Learning
No
Sintaks
Fase
Deskripsi (Peran Guru)
1.











Melaksanakan
Perencanaan
1.      Penetapan Tujuan
2.      Merancang Situasi Masalah
3.      Organisasi Sumber Daya dan Rencana Logistik
1.1 Penetapan tujuan pembelajaran khusus untuk pembelajaran Problem Based  Learning merupakan  salah  satu  diantara tiga pertimbangan penting perencanaan. Sebelumnya problem based learning dirancang untuk membantu mencapai tujuan-tujuan yaitu meningkatkan keterampilan intelektual dan investigasi, memahami peran orang dewasa, dan  membantu  peserta didik untuk menjadi mandiri. Akan tetapi   kemungkinan yang lebih besar adalah guru hanya akan menekankan pada satu atau dua tujuan pembelajaran tertentu.
2.1  Problem based learning didasarkan pada anggapan dasar bahwa situasi bermasalah yang penuh teka teki dan masalah yang tidak terdefinisikan secara  ketat  akan  merangsang  rasa  ingin  tahu  peserta didik hingga membuat mereka tertarik untuk menyelidiki.
3.1  Problem based learning mendorong   peserta didik untuk bekerja dengan  berbagai bahan danalat, beberapa di  antaranya  dilakukan  di dalam   kelas, yang lainnya di perpustakaan  atau   laboratorium komputer,  sementara  yang lainnya berada  di  luar  sekolah. Untuk pekerjaan yang berada di luar sekolah mendatangkan  masalah  khusus bagi  guru. Oleh karena itu tugas mengorganisasikan sumber daya dan merencanakan kebutuhan untuk  penyelidikan  peserta  didik,  haruslah menjadi tugas perencanaan  yang utama bagi guru.
2










Melaksanakan
Pembelajaran
1.  Memberikan orientasi pada siswa
2.  Mengorganisasi siswa untuk belajar
3.  Membimbing Penyelidikan individu maupun kelompok
4.  Menegmbangkan dan menyajikan hasil karya
5.  Mengembangkan dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
1.1  Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,menjelaskan logistik    yang dibutuhkan, memotivasi   siswa   terlibat   pada   aktivasi pemecahan masalah yang dipilihnya.
2.1  Guru membantu peserta didik mendefinisikanda mengorganisasikan  tugas  belajar   yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3.1  Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan infomasi yang sesuai melaksanakan eksprimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
4.1  Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
5.1  Guru    membantu    peserta    didik    untuk melakukan  refleksi  atau  evaluasi  terhadap penyelidikan   mereka   dan   proses-proses yang mereka gunakan.

4.1    Keunggulan dan Kelemahan Project Based Learning
Keunggulan dan strategi  pembelajaran berdasarkan masalah menurut  Sanjaya (2006:220), adalah sebagai berikut:
a.      Keunggulan
1.      Pemecahan masalah merupakan teknik yang bagus untuk memahami isi pembelajaran.
2.      Pemecahan masalah dapat merangsang kemampuan  peserta didik  untuk menemukan pengetahuan baru bagi mereka.
3.      Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik.
4.      Pemecahan masalah dapat membantu  peserta didik  untuk menerapkan pengetahuan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
5.      Pemecahan masalah dapat membantu  peserta didik  mengembangkan pengetahuannya serta dapat digunakan sebagai evaluasi diri terhadap hasil maupun proses belajar.
6.      Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik untuk berlatih berfikir dalam menghadapi sesuatu.
7.      Pemecahan masalah dianggap menyenangkan dan lebih digemari peserta didik.
8.      Pemecahan masalah mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
9.      Pemecahan masalah memberi  kesempatan  peserta didik  untuk mengaplikasikan pengetauan mereka dalam kehidupan nyata.
10.  Pemecahan masalah mengembangkan minat belajar peserta didik.
b.      Kekurangan
1.      Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
2.      Keberhasilan model pembelajaran PBL ini membutuhkan cukup waktu untuk persiapan dan pelaksanaannya.
3.      Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
5.      Landasan Model Pembelajaran Problem Based Learning  
5.1  Landasan  Pedagogis (Teori Belajar)
a.      Teori Belajar Konstruktivisme
(Schmidt, 1993; Savery dan Duffy,1995; Hendry dan Murphy, 1995) dengan ciri: (1) Pemahaman diperoleh dari interaksi dengan skenario permasalahan dan  lingkungan belajar. (2)Pergulatan dengan masalah dan proses inquiry masalah menciptakan disonansi kognitif yang menstimulasi belajar. (3) Pengetahuan terjadi melalui preses kolaborasi negosiasi sosial dan evaluasi terhadap keberadaan sebuah sudut pandang.
b.      Teori Belajar Bermakna dari David Ausubel
Ausubel (Suparno, 1997) membedakan antara belajar bermakna (meaningfull learning) dengan belajar menghafa1 (rote learning).   Belajar bermakna merupakan proses belajar di mana informasi baru dihubungkan  dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang belajar. Belajar menghafal, diperlukan bila seseorang memperoleh informasi baru dalam pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan yang telah diketahuinya.
c.       Teori Belajar Vigotsky
Perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang serta ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan. Dalam upaya mendapatkan pemahaman, individu berusaha mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah dimilikinya kemudian kemudian membangun pengertian baru Ibrahim dan Nur (2000: 19) Vigotsky meyakini bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Kaitannya dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dalam hal mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa melalui kegiatan belajar dalam interkasi sosial dengan teman lain.
d.      Teori Belajar Jerome S. Bruner
Metode penemuan merupakan metode di mana siswa menemukan kembali, bukan menemukan yang sama sekali benar- benar baru.  Bruner juga menggunakan konsep Scaffolding dan inreraksi sosial di kelas maupun di luar kelas. Scaffolding adalah suatu proses untuk membantu siswa rnenuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan guru, teman atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih.
e.       Teori Belajar Piaget
Piaget menegaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha ingin memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu ini, menurut Piaget dapat memotivasi mereka untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka mengenai lingkungan yang mereka hayati. Pada saat mereka tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan memori, tampilan mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Sementara itu, pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami lingkungan mereka dan memotivasinya untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu.
f.       Teori Belajar Sosial Albert Bandura
Model Pembelajaran Berbasis Masalah juga berlandaskan pada social learning theory Albert Bandura, yang fokus pada pembelajaran dalam konteks sosial (social context). Teori ini menyatakan bahwa seorang belajar dari orang lain, termasuk konsep dari belajar observasional, imination dan modeling.
5.2    Landasan Filosofi Problem Based Learning
Menurut Savery & Duffy (1996) landasan filosofis model belajar berbasis masalah adalah konstruktivisme. Sementara Riesbeck (1996) menyatakan bahwa modelcase-based reasoning  (yang merupakan akar dari model belajar berbasis kasus-pen)memberi daging pada kerangka pikir konstruktivis yang menyatakan bahwa fakta-faktadan konsep konsep bukanlah satu sistem kesatuan, melainkan terdistribusi di seluruh memori. Sedang Nelson (1999) memang tidak secara eksplisit menyebut paradigma dibalik model pemecahan masalah kolaboratif yang diajukannya, namun  karena model ini sebenarnya merupakan perpaduan dari pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran berbasis masalah maka tak terlalu keliru kiranya jika disimpulkan bahwa model inipun mempunyai akar filsafati pada konstruktivisme.
Memang konstruktivisme itu sendiri bukanlah sesuatu yang tunggal melainkan jamak, dalam arti terdiri dari beberapa aliran. Dalam catatan Prawat (1999) ada enam aliran konstruktivisme yaitu (1) konstruktivisme radikal (konstruktivisme berbasis skemata), (2) konstruktivisme berbasis teori pemrosesan informasi, (3) konstruktivisme sosio-kultural, (4) konstruktivisme interaksionalis simbolik, (5) konstruksionisme sosial (konstruktivisme sosio-psikologikal), dan (6) konstruktivisme sosial berbasis ide (aliran Dewey). Dua aliran yang disebut terdahulu, menurut Prawat, termasuk kategori konstruktivisme modern sedang empat aliran sisanya termasuk konstruktivisme pos-modern.
Perbedaan antara konstruktivisme modern dan pos-modern itu sendiri terletak pada perbedaan pandangan masing-masing tentang (a) „pemilik‟ pengetahuan, (b) masalah dualisme pikiran dan dunia, (c) serta proses  pembentukan pengetahuan. Konstruktivisme modern  berpendapat bahwa (a) pengetahuan itu milik individu, (b) pengetahuan akan dengan sendirinya memecahkan masalah dualisme “pikiran-dunia”, dan (c) pengetahuan adalah hasil sistem penarikan kesimpulan yang sederhana. Sebaliknya konstruktivisme  pos-modern  berpendapat (a) pengetahuan merupakan kekayaan kolektivitas yang terorganisir, (b) masalah dualisme “pikiran-dunia” tidak dengan sendirinya dipecahkan oleh pengetahuan, dan (c) pengetahuan adalah hasil konstruksi sosial.
Bagaimanapun juga dari keragaman aliran konstruktivisme itu Savery & Duffy (1996) telah menarik benang merah yang merupakan  inti dari filsafat konstruktivisme yaitu:
1.      Pemahaman seseorang itu merupakan hasil interaksi antara dirinya dengan lingkungan; pemahaman seseorang itu merupakan fungsi dari  isi bahan pelajaran, konteks pembelajaran, kegiatan siswa, dan yang paling penting tujuan siswa.
2.      Konflik kognitif atau teka-teki adalah stimulus bagi kegiatan belajar dan akan menentukan organisasi serta sifat dari apa yang dipelajari.
3.      Pengetahuan terbangun melalui negosiasi sosial dan melalui penilaian atas viabilitas pengetahuan atau kemampuan bertahan lama dan berkembangnya di masa depan pemahaman-pemahaman seseorang.

SUMBER REFERENSI
Arends, Richard. (2008).  Learning to Teach. Penerjemah: Helly Prajitno & Sri Mulyani. New York: McGraw Hill Company.
Barret, Terry (2005).  Understanding Problem Based Learning.  [online]. Tersedia :08 April 2015
Hosnan, M. 2013. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor. Ghalia Indonesia
Ismail, (2002), Pembelajaran Berbasis Masalah,Dikti Depdiknas- JICA IMSTEP,Jakata
Ibrahim, M dan Nur, M (2000),  Pengajaran Berbasis Masalah, Unesa University Press,  Surabaya.
Hariprasetya A & Kuswadi HM. 2012. Landasan-Landasan Pendidikan (Problem Based Learning), Malang, Pascasarana Universitas Negeri Malang
Mukhadis, A. 2006. Problem Based Learning  dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah disajikan dalam Workshop on teaching Grant-TPSDP LP3Unibraw.(Online http://faizinsulistio.blogspot.com/2008/08/ problem-based-learning-dan-alternatif.html), diakses 8 April 2015.
Meliyani, 2013. PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA SMK. Skrpsi (Online;Http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMEDUndergraduate-25871-1.%20NIM.%20408311032%20COVER.pdfdiakses pada tanggal 08 April 2015)
Noviani, 2012. Makalah Problem Based Learning (Online ; Http;noviansangpendiam.blogspot.com) di akses pada tangga 15 April
Nelson, ,L.M. 1999.  Collaborative Problem Solving.  Dalam Reigeluth. C.M. (ed) Instructional  Design Theories and Models Volume II. A new paradigm of Instructional Theory; New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Prawat R.S. 1996. Constructivism Modern and Postmodern; Educational Psychologist, Vol. 31 No ¾ Summer & Fall 215 –226.
Savery, J.R. & T.M. Duffy. 1996. Problem Based Learning: An Instructional Model and Its Constructivist Framework. Dalam Brent G. Wilson (ed) Constructivist Learning Environment; New Jersey: Educational Technology Publications.
Toib Ibnu, 2011, PengaruhModel Pembelajaran Problem Based Learning dan Ekspositori Terhadap Prestasi Belajar PendidikanKewarganegaraan Ditinjau Dari Motivasi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI LUMAJANG, Jurnal JP3 (Online) Volume1(2); 9-17. diakses pada tanggal 10 April 2015
Trianto (2012).  Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Trianto. (2010). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.
Wina Sanjaya; Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses   Pendidikan, Media Group, Jakarta , 2006
Yatim Rianto, 2010, Paradigma Baru pembelajaran, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.