Pendidikan
merupakan upaya merekonstruksi suatu peradaban yang dibutuhkan oleh setiap
manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk
masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan
fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan
kehidupan menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya. Dalam
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa
pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta
didik untuk bekerja dalam bidang tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dan individu. Kebutuhan
masyarakat adalah bagaimana mengisi posisi yang dipersyaratkan sehingga sistem
ekonomi berjalan secara efektif, sedangkan kebutuhan individu adalah untuk
mendapatkan posisi yang memuaskan dalam struktur lapangan kerja (Sonhadji,
2012).
Pendidikan kejuruan
merupakan jenjang pendidikan yang selalu dinamis dalam melakukan perubahan
kurikulum pendidikan sesuai dengan pertumbuhan pasar kerja dan beradaptasi
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini berarti pendidikan
kejuruan akan selalu mengalami pergeseran paradigma. Menurut Pavlova (2009)
dengan pertimbangan bahwa aktivitas ekonomi sangat ditentukan adanya perubahan
teknologi yang cepat pada masa mendatang, maka orientasi pendidikan kejuruan diarahkan
menjadi pendidikan bekerja (work
education) atau pendidikan teknologi (technology
education) dalam mengisi kebutuhan masyarakat. Sementara itu, Calhoun
dan Finch mendefiniskan pendidikan kejuruan sebagai program pendidikan yang
secara langsung berkaitan dengan penyiapan individu memasuki dunia kerja
(Sonhadji, 2013). Berdasarkan
pemahaman tersebut, konstribusi pendidikan kejuruan
dalam pertumbuhan ekonomi terjadi melalui kemampuan untuk meningkatkan produktivitas
tenaga kerja yang ada dan tidak hanya ditentukan oleh investasi modal, tetapi juga
tenaga kerja yang memiliki fleksibilitas dalam menguasai keterampilan baru
untuk melaksanakan pekerjaan baru. Sondhaji (2013).
Pada
penghujung Tahun 2015, seluruh Bangsa Indonesia akan menyambut Masyarakat Asean Community (MEA) dan berperan
langsung sebagai salah satu dari pilar Masyarakat ASEAN. Masyarakat ASEAN merupakan upaya negara ASEAN untuk
mengintegrasikan kawasan agar ASEAN dapat menjadi kawasan yang aman, stabil,
dan memiliki daya saing global. Konsep
utama dari ASEAN Economic Community
adalah menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis
produksi dimana terjadi free flow
atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal serta penghapusan tarif
bagi perdagangan antar negara ASEAN yang kemudian diharapkan dapat mengurangi
kemiskinan dan kesenjangan ekonomi diantara negara-negara anggotanya melalui
sejumlah kerjasama yang saling menguntungkan.
MEA dibentuk dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan integrasi ekonomi di
kawasan ASEAN yang diyakini dapat memberikan manfaat nyata bagi seluruh elemen
masyarakat. Meraih manfaat bukanlah tanpa syarat. Sejak diformulasikan, tiga
dari empat pilar MEA jelas mempersyaratkan daya saing sebagai kunci sukses. MEA
sebagai kawasan pasar tunggal dan berbasis produksi, sebagai kawasan yang berdaya
saing, dan berintegrasi dengan ekonomi global dapat terwujud apabila
masing-masing anggotanya dan sebagai kawasan memiliki daya saing. Esensinya MEA
dirancang untuk meningkatkan daya saing ASEAN dalam menjawab semakin ketatnya
persaingan global.
Rasionalnya, Indonesia
hingga kini masih berhadapan dengan masalah kurangnya tenaga kerja yang
berketerampilan tinggi dan profesional. Simak saja. The Boston Consulting Group (BCG 2013) memprediksi
perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia pada 2020 akan menghadapi
kesulitan dalam mengisi setengah posisi pekerjaan entry-level dan middle-manager.
Sedangkan pada level senior-managers, posisi ini akan diisi
oleh pekerja Indonesia yang kurang memiliki kemampuan manajerial dan berwawasan
global (leadership skills dan global
exposure). Padahal skill itu
sangat dibutuhkan bagi perusahaan untuk dapat unggul dalam persaingan. Masalah kurangnya kemampuan SDM di Indonesia itu
disebabkan oleh ketidaksesuaian antara keterampilan dan pengetahuan yang
diperoleh saat menempuh pendidikan, dengan kebutuhan dunia kerja. Inilah yang
akan menghambat pertumbuhan daya saing tenaga kerja Indonesia dalam Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Nah, salah satu solusinya adalah peningkatan kualitas
SDM melalui pendidikan kejuruan. Pendidikan kejuruan harus menjadi salah satu referensi
Indonesia untuk mencetak lulusan terampil dan siap bekerja di ASEAN.
Dalam beberapa tahun
terakhir, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan yang terfokus pada
peningkatan kualitas pendidikan kejuruan. prioritas Garis-Garis Besar Program
Pembinaan SMK Tahun 2012, yang disusun oleh Direktorat Pembinaan SMK, Ditjen
Pendidikan Menengah di situ disebutkan, hasil yang harus dicapai pada tahun
2014: 70% lulusan SMK siap bekerja pada tahun kelulusan; 85% SMK menyediakan
layanan pembinaan pengembangan kewirausahaan; seluruh SMK menerapkan
pembelajaran yang membangun karakter; dan sekurang-kurangnya 90% SMK melakukan e-learning.
Selain itu pemerintah juga tengah menyiapkan sertifikasi bagi lulusan SMK
dengan menggandeng Badan Nasiona Sertifikasi dan Profesi (BNSP) dan pihak
industri.
Untuk bersaing dalam MEA,
tidak ada kata terlambat, Pendidikan Kejuruan diharapkan mampu berperan dalam menghasilkan
lulusan yang memiliki kemampuan sesuai kebutuhan kompetensi dunia kerja.
Menurut Indonesia Skills Report yang
dikeluarkan oleh World Bank pada
tahun 2010, selain keterampilan dan pengetahuan dasar teknis, hal lain yang tak
kalah penting dan dibutuhkan tenaga kerja Indonesia adalah manajemen keterampilan
sosial individu (life skills atau transferable skills). Pendidikan Kejuruan dalam hal ini SMK, diharapkan menghasilkan SDM yang
kompeten dengan memiliki kemampuan (Skill,
Attitude, dan Knowledge) yang
sesuai dengan kebutuhan kompetensi dunia kerja serta mampu sebagai
wahana dalam upaya mengfasilitasi berkembangnya keterampilan individu atau
kelompok untuk dapat berperan sebagai pencipta atau pembuka lapangan kerja (Job Creator), atau individu atau
kelompok sebagai pencari kerja yang kompetitif (Job Seeker) dan individu atau kelompok yang memiliki kemampuan daya
enduransi yang tinggi dalam berkompetisi (High
Degree Pursuer) dalam kancah global. Dengan demikian agar
tujuan pendidikan kejuruan dalam hal ini SMK benar-benar mampu memaksimalkan
perannya dalam pengembangan peserta didik seutuhnya dan pembangunan ekonomi,
perlu ditempuh berbagai upaya. (1) Kompetensi harus sesuai dengan standar kualifikasi lulusan pendidikan
kejuruan sesuai KKNI meliputi keterampilan, pengetahuan, keterampilan
komunikasi dan derajat kemandirian yang dikuasai. (a) Penguasaan pengetahuan
pada bidang keahlian nya ditunjukkan dalam penguasaan konsep teoritis. (b) Kemampuan
berkomunikasi meliputi komunikasi verbal dan tertulis. (c) Penguasaan keterampilan
ditunjukkan dalam unjuk kerja ketika mengaplikasikannya. (d) Jenjang
kualifikasi ditentukan oleh kedalaman, kompleksitas, dan kekomprehensifan
pengetahuan yang dikuasai.
Uraian
jenjang pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian yaitu penguasaan hard skills (teori, dan praktik) dan soft skill. Penguasaan hard skill dari
segi kedalaman dan kekomplekannya berjenjang. Penguasaan soft skill pada semua jenjang pada dasarnya meliputi keterampilan
berkomunikasi sesuai dengan bidang kerjanya yang meliputi komunikasi verbal dan
tertulis. Keterampilan berkomunikasi diperlukan pada semua jenjang kualifikasi,
sehingga dapat dikatakan merupakan keterampilan yang mutlak diperlukan dan
seharusnya diajarkan di pendidikan kejuruan. Selain life skills, hal yang tak kalah penting bagi tenaga kerja Indonesia
adalah peningkatan kemampuan Bahasa Inggris dan penguasaan Teknologi Informasi (TI).
Diharapkan, melalui penerapan life
skills, penguasaan TI dan bahasa Inggris, tenaga kerja Indonesia dapat berkompetisi
dengan tenaga kerja negara-negara ASEAN lainnya. Lebih jauh lagi, guna menjadi
pemenang di kancah regional MEA, ada baiknya jika tenaga kerja Indonesia juga diberi
bekal keterampilan bahasa ASEAN lainnya, seperti bahasa Thai. (2) Membangun keselarasan (link & match). Diupayakan,
pendidikan kejuruan lebih mengarah kepada demand-driven dari pada supply-driven
yang dilakukan melalui pembelajaran yang lebih aktual tidak sekadar
tekstual, lebih konkret dari pada abstrak, yang lebih merujuk ke realitas dari pada artifisial, lebih nyata dari pada maya, dan ini
semua menuntut pendidikan kejuruan secara proaktif mendekatkan diri dengan
dunia kerja. Mengajarkan kewirausahaan kepada peserta didik SMK melalui
pengetahuan, penyadaran, dan praktek-praktek yang nyata tentang kewirausahaan. (3) Sebagai Job
Creator, Job Seeker dan High Degree Pursuer merupakan
suatu keterampilan yang menjadi tuntutan kebutuhan
menuju Masyarakat AESAN. Dalam hal ini, output ataupun
lulusan pendidikan kejuruan dan pendidikan vokasi yang memungkinkan dapat
menghasilkan calon pemimpin cendekia yang profesional, baik sebagai tenaga
kerja pada bidang keahliannya,
maupun kemampuan untuk melihat kesempatan dan menciptakan lapangan kerja
baru (Mukhadis 2009).
Berdasarkan uraian di
atas maka dapat disimpulkan, Pendidikan Kejuruan dapat berperan maksimal
dalam menghadapi
MEA melalui komitmen kuat dari
pemerintah dan dukungan masyarakat luas,
terhadap program-program SMK yang relevan dengan kebutuhan MEA dalam
menghasilkan lulusan atau sumber daya manusia Indonesia
yang unggul dan berkualitas serta siap bersaing di tingkat ASEAN dan global.