Kamis, 12 November 2015

Peran Pendidikan Kejuruan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)


Pendidikan merupakan upaya merekonstruksi suatu peradaban yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupan menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik untuk bekerja dalam bidang tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan individu. Kebutuhan masyarakat adalah bagaimana mengisi posisi yang dipersyaratkan sehingga sistem ekonomi berjalan secara efektif, sedangkan kebutuhan individu adalah untuk mendapatkan posisi yang memuaskan dalam struktur lapangan kerja (Sonhadji, 2012).
Pendidikan kejuruan merupakan jenjang pendidikan yang selalu dinamis dalam melakukan perubahan kurikulum pendidikan sesuai dengan pertumbuhan pasar kerja dan beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini berarti pendidikan kejuruan akan selalu mengalami pergeseran paradigma. Menurut Pavlova (2009) dengan pertimbangan bahwa aktivitas ekonomi sangat ditentukan adanya perubahan teknologi yang cepat pada masa mendatang, maka orientasi pendidikan kejuruan diarahkan menjadi pendidikan bekerja (work education) atau pendidikan teknologi (technology education) dalam mengisi kebutuhan masyarakat. Sementara itu, Calhoun dan Finch mendefiniskan pendidikan kejuruan sebagai program pendidikan yang secara langsung berkaitan dengan penyiapan individu memasuki dunia kerja (Sonhadji, 2013). Berdasarkan pemahaman tersebut, konstribusi pendidikan kejuruan dalam pertumbuhan ekonomi terjadi melalui kemampuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang ada dan tidak hanya ditentukan oleh investasi modal, tetapi juga tenaga kerja yang memiliki fleksibilitas dalam menguasai keterampilan baru untuk melaksanakan pekerjaan baru. Sondhaji (2013).
            Pada penghujung Tahun 2015, seluruh Bangsa Indonesia akan menyambut Masyarakat Asean Community (MEA) dan berperan langsung sebagai salah satu dari pilar Masyarakat ASEAN. Masyarakat ASEAN merupakan upaya negara ASEAN untuk mengintegrasikan kawasan agar ASEAN dapat menjadi kawasan yang aman, stabil, dan memiliki daya saing global. Konsep utama dari ASEAN Economic Community adalah menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis produksi dimana terjadi free flow atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal serta penghapusan tarif bagi perdagangan antar negara ASEAN yang kemudian diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi diantara negara-negara anggotanya melalui sejumlah kerjasama yang saling menguntungkan.
MEA dibentuk dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN yang diyakini dapat memberikan manfaat nyata bagi seluruh elemen masyarakat. Meraih manfaat bukanlah tanpa syarat. Sejak diformulasikan, tiga dari empat pilar MEA jelas mempersyaratkan daya saing sebagai kunci sukses. MEA sebagai kawasan pasar tunggal dan berbasis produksi, sebagai kawasan yang berdaya saing, dan berintegrasi dengan ekonomi global dapat terwujud apabila masing-masing anggotanya dan sebagai kawasan memiliki daya saing. Esensinya MEA dirancang untuk meningkatkan daya saing ASEAN dalam menjawab semakin ketatnya persaingan global.
Rasionalnya, Indonesia hingga kini masih berhadapan dengan masalah kurangnya tenaga kerja yang berketerampilan tinggi dan profesional. Simak saja. The Boston Consulting Group (BCG 2013) memprediksi perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia pada 2020 akan menghadapi kesulitan dalam mengisi setengah posisi pekerjaan entry-level dan middle-manager. Sedangkan pada level  senior-managers, posisi ini akan diisi oleh pekerja Indonesia yang kurang memiliki kemampuan manajerial dan berwawasan global (leadership skills dan global exposure). Padahal skill itu sangat dibutuhkan bagi perusahaan untuk dapat unggul dalam persaingan. Masalah kurangnya kemampuan SDM di Indonesia itu disebabkan oleh ketidaksesuaian antara keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh saat menempuh pendidikan, dengan kebutuhan dunia kerja. Inilah yang akan menghambat pertumbuhan daya saing tenaga kerja Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Nah, salah satu solusinya adalah peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan kejuruan. Pendidikan kejuruan harus menjadi salah satu referensi Indonesia untuk mencetak lulusan terampil dan siap bekerja di ASEAN.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan yang terfokus pada peningkatan kualitas pendidikan kejuruan. prioritas Garis-Garis Besar Program Pembinaan SMK Tahun 2012, yang disusun oleh Direktorat Pembinaan SMK, Ditjen Pendidikan Menengah di situ disebutkan, hasil yang harus dicapai pada tahun 2014: 70% lulusan SMK siap bekerja pada tahun kelulusan; 85% SMK menyediakan layanan pembinaan pengembangan kewirausahaan; seluruh SMK menerapkan pembelajaran yang membangun karakter; dan sekurang-kurangnya 90% SMK melakukan  e-learning. Selain itu pemerintah juga tengah menyiapkan sertifikasi bagi lulusan SMK dengan menggandeng Badan Nasiona Sertifikasi dan Profesi (BNSP) dan pihak industri. 
Untuk bersaing dalam MEA, tidak ada kata terlambat, Pendidikan Kejuruan diharapkan mampu berperan dalam menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan sesuai kebutuhan kompetensi dunia kerja. Menurut Indonesia Skills Report yang dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2010, selain keterampilan dan pengetahuan dasar teknis, hal lain yang tak kalah penting dan dibutuhkan tenaga kerja Indonesia adalah manajemen keterampilan sosial individu (life skills atau transferable skills). Pendidikan Kejuruan dalam hal ini SMK, diharapkan menghasilkan SDM yang kompeten dengan memiliki kemampuan (Skill, Attitude, dan Knowledge) yang sesuai dengan kebutuhan kompetensi dunia kerja serta mampu sebagai wahana dalam upaya mengfasilitasi berkembangnya keterampilan individu atau kelompok untuk dapat berperan sebagai pencipta atau pembuka lapangan kerja (Job Creator), atau individu atau kelompok sebagai pencari kerja yang kompetitif (Job Seeker) dan individu atau kelompok yang memiliki kemampuan daya enduransi yang tinggi dalam berkompetisi (High Degree Pursuer) dalam kancah global. Dengan demikian agar tujuan pendidikan kejuruan dalam hal ini SMK benar-benar mampu memaksimalkan perannya dalam pengembangan peserta didik seutuhnya dan pembangunan ekonomi, perlu ditempuh berbagai upaya. (1) Kompetensi harus sesuai dengan standar kualifikasi lulusan pendidikan kejuruan sesuai KKNI meliputi keterampilan, pengetahuan, keterampilan komunikasi dan derajat kemandirian yang dikuasai. (a) Penguasaan pengetahuan pada bidang keahlian nya ditunjukkan dalam penguasaan konsep teoritis. (b) Kemampuan berkomunikasi meliputi komunikasi verbal dan tertulis. (c) Penguasaan keterampilan ditunjukkan dalam unjuk kerja ketika mengaplikasikannya. (d) Jenjang kualifikasi ditentukan oleh kedalaman, kompleksitas, dan kekomprehensifan pengetahuan yang dikuasai.
Uraian jenjang pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian yaitu penguasaan hard skills (teori, dan praktik) dan soft skill. Penguasaan hard skill dari segi kedalaman dan kekomplekannya berjenjang. Penguasaan soft skill pada semua jenjang pada dasarnya meliputi keterampilan berkomunikasi sesuai dengan bidang kerjanya yang meliputi komunikasi verbal dan tertulis. Keterampilan berkomunikasi diperlukan pada semua jenjang kualifikasi, sehingga dapat dikatakan merupakan keterampilan yang mutlak diperlukan dan seharusnya diajarkan di pendidikan kejuruan. Selain life skills, hal yang tak kalah penting bagi tenaga kerja Indonesia adalah peningkatan kemampuan Bahasa Inggris dan penguasaan Teknologi Informasi (TI). Diharapkan, melalui penerapan life skills, penguasaan TI dan bahasa Inggris, tenaga kerja Indonesia dapat berkompetisi dengan tenaga kerja negara-negara ASEAN lainnya. Lebih jauh lagi, guna menjadi pemenang di kancah regional MEA, ada baiknya jika tenaga kerja Indonesia juga diberi bekal keterampilan bahasa ASEAN lainnya, seperti bahasa Thai. (2) Membangun keselarasan (link & match). Diupayakan, pendidikan kejuruan lebih mengarah kepada demand-driven dari pada supply-driven yang dilakukan melalui pembelajaran yang lebih aktual tidak sekadar tekstual, lebih konkret dari pada abstrak, yang lebih merujuk ke realitas dari pada artifisial, lebih nyata dari pada maya, dan ini semua menuntut pendidikan kejuruan secara proaktif mendekatkan diri dengan dunia kerja. Mengajarkan kewirausahaan kepada peserta didik SMK melalui pengetahuan, penyadaran, dan praktek-praktek yang nyata tentang kewirausahaan. (3) Sebagai Job Creator, Job Seeker dan High Degree Pursuer merupakan suatu keterampilan yang menjadi tuntutan kebutuhan menuju Masyarakat AESAN. Dalam hal ini, output ataupun lulusan pendidikan kejuruan dan pendidikan vokasi yang memungkinkan dapat menghasilkan calon pemimpin cendekia yang profesional, baik sebagai tenaga kerja pada  bidang  keahliannya,  maupun kemampuan untuk melihat kesempatan dan menciptakan lapangan kerja baru (Mukhadis 2009).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan, Pendidikan Kejuruan dapat berperan maksimal dalam menghadapi MEA melalui komitmen kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat luas, terhadap program-program SMK yang relevan dengan kebutuhan MEA dalam menghasilkan lulusan atau sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan berkualitas serta siap bersaing di tingkat ASEAN dan global.