Jumat, 11 Desember 2015

MODEL PENDIDIKAN KOOPERATIF "AMERIKA"

Pendahuluan
Pendidikan kejuruan merupakan suatu lembaga atau institusi pendidikan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dengan membekali keterampilan bagi peserta didik sehingga terampil dan siap untuk bekerja di dunia industri atau dunia usaha. Dalam mewujudkan lulusan yang terampil dan sesuai dengan kompetensi di bidangnya serta siap kerja, perlu dipandang pengembangan suatu model pendidikan kejuruan. Model Pendidikan kejuruan merupakan suatu cara atau usaha yang digunakan dalam memenuhi segala keterampilan peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan kejuruan. Menurut Sonhadji (2014); Model pendidikan kejuruan pada umumnya dapat di bagi menjadi tiga yaitu model pasar, model sekolah, model sistem ganda dan kooperatif. Dalam pembahasan ini, akan dibatasi dan difokuskan pada model kooperatif, di mana model pendidikan kooperatif ini merupakan model yang berasal dari Amerika Serikat dan digunakan pada pendidikan kejuruan sampai saat ini. 

Defenisi Pendidikan Kooperatif
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak lepas dari strategi agar tujuan pendidikan dapat dicapai secara optimal, untuk itu sekolah menerapkan berbagai model sesuai dengan program studi nya dan karakteristik peserta didik. Kata model dapat diartikan sebagai pola atau bentuk. Kaitannya dengan pendidikan kejuruan kata model di sini mengandung pengertian sebagai suatu bentuk atau pola penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Munculnya berbagai model penyelenggaraan pendidikan kejuruan, tidak dapat dilepaskan dengan masyarakat dan kebutuhannya. Salah satu model penyelenggara pendidikan kejuruan dalam bentuk kerja sama (mitra) yang dianggap efektif dan efisien adalah Pendidikan Kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan istilah umum pada sekumpulan berbagai strategi pengajaran yang dirancang untuk mendidik kerja sama kelompok sehingga terciptalah interaksi antara siswa, Jacobsen, et al (2009). Hal ini berarti bahwa pembelajaran yang diharapkan pada model kooperatif sekolah kejuruan adalah pembelajaran yang tercipta suatu interaksi antara siswa dengan siswa lain yang bertujuan untuk membangun kompetensi yang dimiliki agar terampil di bidang keahlian yang diminati.
Pendidikan Kooperatif merupakan model penyelenggara pendidikan yang diterapkan di Amerika Serikat, model ini merupakan suatu bentuk kemitraan antara lembaga pendidikan dengan industri secara sistemik. Pendidikan Kooperatif (Cooperatif Education), yaitu suatu kegiatan yang memiliki landasan hukum, di dukung oleh masyarakat dan pemerintah, terorganisasi secara baik, dan memiliki komponen-komponen kegiatan yang rinci dan operasional (Sonhadji; 2014). Dasar hukum pendidikan kooperatif di Amerika Serikat meiliki dua UUD yang mengikat secara kuat yakni, (1) Undang-undang Pendidikan Kejuruan Tahun 1963 (Vocational Education Act of 1963) dan, (2) Undang-undang Pendidikan Tinggi Tahun1965 (Higher Education Act of 1965).
Undang-undang Pendidikan Kejuruan Tahun 1963 (Vocational Education Act of 1963); Pendidikan Kooperatif adalah suatu program pendidikan kejuruan yang di atur dan disepakati secara tertulis oleh sekolah dan industri. Siswa menerima pendidikan kejuruan di sekolah dan bekerja di lapangan, yang diatur secara berlapis. Direncanakan dan disupervisi oleh sekolah dan di industri. Sedangkan Undang-undang Pendidikan Tinggi Tahun1965 (Higher Education Act of 1965); Pendidikan Kooperatif adalah suatu pendekatan pendidikan kejuruan yang menyediakan pelajaran di kelas dan dibarengi dengan bekerja di tempat kerja dengan adanya; (1) Perjanjian sescara tertulis, (2) Pemberian pengalaman kerja sesuai dengan tujuan karir, (3) rotasi antara belajar sekolah dan bekerja di perusahaan, (4) Mahasiswa yang dipekerjakan diberi imbalan menurut UUD yang berlaku (Sondhaji dalam Humbert & Woloszky, 1983). 

Karakteristik Model Pendidikan Kooperatif 
Berdasarkan dari kedua sumber tersebut di atas, Pendidikan Kooperatif memiliki karakteristik sebagai berikut;
1.      Dilindungi oleh undang-undang yang kuat, sehingga baik sekolah maupun industri mempunyai ikatan legal yang harus dipatuhi
2.      Memadukan pengajaran yang berorientasi pada lapangan kerja (occupationally oriented instruction) di sekolah dan pengalaman belajar yang berkaitan dengan pekerjaan (work-related learning experience) di industri;
3.      Kegiatan ini direncanakan dan disupervisi secara baik;
4.      Adanya pengaturan waktu antara kedua kegiatan secara berlapis-berulang, yang memungkinkan siswa dapat belajar di sekolah sambil bekerja di industri;
5.      Pengalaman belajar bekerja harus sesuai dengan program studi atau tujuan karir subyek didik;
6.      Adanya perjanjian pelatihan siswa (student training agreement) yang ditandatangani oleh siswa, orang tua, koordinator/sekolah, dan supervisor/perusahaan; dan
7.      Diberikannya upah kepada siswa yang sedang bekerja oleh perusahaan yang bersangkutan (Humbert & Woloszyk, 1983).
Apabila diperhatikan, karakteristik pendidikan kooperatif tersebut mirip dengan PSG, tetapi sebenarnya terdapat beberapa perbedaan pokok. Pendidikan Sistem Ganda adalah sistem pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan di dua tempat, yaitu di sekolah dan industri (the dual system model). Pendidikan kooperatif merupakan sistem pelatihan di industri, sedangkan basis pendidikan nya tetap di sekolah. 
Dengan perkataan lain, PSG merupakan sistem pendidikan secara keseluruhan, sedangkan pendidikan koperatif merupakan bagian dari sistem pendidikan. Adapun perbedaan pendidikan koperatif dengan model pendidikan tradisional (the school model), terletak pada penyelenggaraan prakek industri yang lebih terencana, bersistem, dan diperkuat oleh undang-undang. Jadi, pendidikan kooperatif ini terletak di antara pendidikan berbasis sekolah dan PSG.

Kemungkinan Penerapan Pendidikan Kooperatif di Indonesia
Perkembangan pendidikan kejuruan di indonesia, sangat terasa di tubuh pendidikan. Salah satunya munculnya berbagai model pendidikan khususnya pada pendidikan kejuruan. Untuk saat ini model yang diterapkan di indonesia adalah model sistem ganda kemudian ada juga menggunakan model prakerin. Hal ini menunjukkan, suatu usaha pendidikan kejuruan dalam menempatkan posisi peserta didiknya dalam menimbah keterampilan di dunia industri dan usaha. Berkaitan dengan hal itu tidak menutup kemungkinan model kooperatif yang berasal dari Amerika, bisa diterapkan di Indonesia. Menurut Sonhadji (2014). Penerapan pendidikan kooperatif di indonesia sangat memungkinkan diterapkan atas dasar tiga pertimbangan yakni; (1) struktur sosial yang paternalistik dari masyarakat indonesia menyebabkan intervensi pemerintah melalui kebijakan-kebijakan dan peraturan-paraturan menjadi efektif, (2) industri-industri di indonesia relatif masih baru berkembang, sehingga membutuhkan dukungan sumber daya manusia yang kuat, serta (3) variasi program sekolah kejuruan yang belum begitu besar dapat diwadahi oleh organisasi yang sederhana.

Kesimpulan
Pendidikan Kooperatif merupakan model penyelenggara pendidikan yang diterapkan di Amerika Serikat, model ini merupakan suatu bentuk kemitraan antara lembaga pendidikan dengan industri secara sistemik. Model pendidikan kooperatif ini, jika dilihat dari karakteristiknya, menunjukkan model ini sangat ideal dalam memenuhi segala kompetensi peserta didik di DU-DI dan memungkinkan diterapkan di indonesia ketika pemerintah berpijak dari tiga dasar pertimbangan dalam penerapan model pendidikan kooperatif. Begitupun kemitraan antara lembaga pendidikan dan pihak DU-DI perlu menjalin komitmen dalam memenuhi segala kebutuhan antara satu sama lain. yang telah di uraikan sebelumnya.

Daftar Rujukan
Sondhaji, A. 2014. Manusia, Teknologi, dan Pendidikan;Menuju Peradaban Baru. Universitas Negeri Malang. UM Press. Malang.

Kamis, 12 November 2015

Peran Pendidikan Kejuruan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)


Pendidikan merupakan upaya merekonstruksi suatu peradaban yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupan menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik untuk bekerja dalam bidang tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan individu. Kebutuhan masyarakat adalah bagaimana mengisi posisi yang dipersyaratkan sehingga sistem ekonomi berjalan secara efektif, sedangkan kebutuhan individu adalah untuk mendapatkan posisi yang memuaskan dalam struktur lapangan kerja (Sonhadji, 2012).
Pendidikan kejuruan merupakan jenjang pendidikan yang selalu dinamis dalam melakukan perubahan kurikulum pendidikan sesuai dengan pertumbuhan pasar kerja dan beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini berarti pendidikan kejuruan akan selalu mengalami pergeseran paradigma. Menurut Pavlova (2009) dengan pertimbangan bahwa aktivitas ekonomi sangat ditentukan adanya perubahan teknologi yang cepat pada masa mendatang, maka orientasi pendidikan kejuruan diarahkan menjadi pendidikan bekerja (work education) atau pendidikan teknologi (technology education) dalam mengisi kebutuhan masyarakat. Sementara itu, Calhoun dan Finch mendefiniskan pendidikan kejuruan sebagai program pendidikan yang secara langsung berkaitan dengan penyiapan individu memasuki dunia kerja (Sonhadji, 2013). Berdasarkan pemahaman tersebut, konstribusi pendidikan kejuruan dalam pertumbuhan ekonomi terjadi melalui kemampuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang ada dan tidak hanya ditentukan oleh investasi modal, tetapi juga tenaga kerja yang memiliki fleksibilitas dalam menguasai keterampilan baru untuk melaksanakan pekerjaan baru. Sondhaji (2013).
            Pada penghujung Tahun 2015, seluruh Bangsa Indonesia akan menyambut Masyarakat Asean Community (MEA) dan berperan langsung sebagai salah satu dari pilar Masyarakat ASEAN. Masyarakat ASEAN merupakan upaya negara ASEAN untuk mengintegrasikan kawasan agar ASEAN dapat menjadi kawasan yang aman, stabil, dan memiliki daya saing global. Konsep utama dari ASEAN Economic Community adalah menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis produksi dimana terjadi free flow atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal serta penghapusan tarif bagi perdagangan antar negara ASEAN yang kemudian diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi diantara negara-negara anggotanya melalui sejumlah kerjasama yang saling menguntungkan.
MEA dibentuk dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN yang diyakini dapat memberikan manfaat nyata bagi seluruh elemen masyarakat. Meraih manfaat bukanlah tanpa syarat. Sejak diformulasikan, tiga dari empat pilar MEA jelas mempersyaratkan daya saing sebagai kunci sukses. MEA sebagai kawasan pasar tunggal dan berbasis produksi, sebagai kawasan yang berdaya saing, dan berintegrasi dengan ekonomi global dapat terwujud apabila masing-masing anggotanya dan sebagai kawasan memiliki daya saing. Esensinya MEA dirancang untuk meningkatkan daya saing ASEAN dalam menjawab semakin ketatnya persaingan global.
Rasionalnya, Indonesia hingga kini masih berhadapan dengan masalah kurangnya tenaga kerja yang berketerampilan tinggi dan profesional. Simak saja. The Boston Consulting Group (BCG 2013) memprediksi perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia pada 2020 akan menghadapi kesulitan dalam mengisi setengah posisi pekerjaan entry-level dan middle-manager. Sedangkan pada level  senior-managers, posisi ini akan diisi oleh pekerja Indonesia yang kurang memiliki kemampuan manajerial dan berwawasan global (leadership skills dan global exposure). Padahal skill itu sangat dibutuhkan bagi perusahaan untuk dapat unggul dalam persaingan. Masalah kurangnya kemampuan SDM di Indonesia itu disebabkan oleh ketidaksesuaian antara keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh saat menempuh pendidikan, dengan kebutuhan dunia kerja. Inilah yang akan menghambat pertumbuhan daya saing tenaga kerja Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Nah, salah satu solusinya adalah peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan kejuruan. Pendidikan kejuruan harus menjadi salah satu referensi Indonesia untuk mencetak lulusan terampil dan siap bekerja di ASEAN.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan yang terfokus pada peningkatan kualitas pendidikan kejuruan. prioritas Garis-Garis Besar Program Pembinaan SMK Tahun 2012, yang disusun oleh Direktorat Pembinaan SMK, Ditjen Pendidikan Menengah di situ disebutkan, hasil yang harus dicapai pada tahun 2014: 70% lulusan SMK siap bekerja pada tahun kelulusan; 85% SMK menyediakan layanan pembinaan pengembangan kewirausahaan; seluruh SMK menerapkan pembelajaran yang membangun karakter; dan sekurang-kurangnya 90% SMK melakukan  e-learning. Selain itu pemerintah juga tengah menyiapkan sertifikasi bagi lulusan SMK dengan menggandeng Badan Nasiona Sertifikasi dan Profesi (BNSP) dan pihak industri. 
Untuk bersaing dalam MEA, tidak ada kata terlambat, Pendidikan Kejuruan diharapkan mampu berperan dalam menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan sesuai kebutuhan kompetensi dunia kerja. Menurut Indonesia Skills Report yang dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2010, selain keterampilan dan pengetahuan dasar teknis, hal lain yang tak kalah penting dan dibutuhkan tenaga kerja Indonesia adalah manajemen keterampilan sosial individu (life skills atau transferable skills). Pendidikan Kejuruan dalam hal ini SMK, diharapkan menghasilkan SDM yang kompeten dengan memiliki kemampuan (Skill, Attitude, dan Knowledge) yang sesuai dengan kebutuhan kompetensi dunia kerja serta mampu sebagai wahana dalam upaya mengfasilitasi berkembangnya keterampilan individu atau kelompok untuk dapat berperan sebagai pencipta atau pembuka lapangan kerja (Job Creator), atau individu atau kelompok sebagai pencari kerja yang kompetitif (Job Seeker) dan individu atau kelompok yang memiliki kemampuan daya enduransi yang tinggi dalam berkompetisi (High Degree Pursuer) dalam kancah global. Dengan demikian agar tujuan pendidikan kejuruan dalam hal ini SMK benar-benar mampu memaksimalkan perannya dalam pengembangan peserta didik seutuhnya dan pembangunan ekonomi, perlu ditempuh berbagai upaya. (1) Kompetensi harus sesuai dengan standar kualifikasi lulusan pendidikan kejuruan sesuai KKNI meliputi keterampilan, pengetahuan, keterampilan komunikasi dan derajat kemandirian yang dikuasai. (a) Penguasaan pengetahuan pada bidang keahlian nya ditunjukkan dalam penguasaan konsep teoritis. (b) Kemampuan berkomunikasi meliputi komunikasi verbal dan tertulis. (c) Penguasaan keterampilan ditunjukkan dalam unjuk kerja ketika mengaplikasikannya. (d) Jenjang kualifikasi ditentukan oleh kedalaman, kompleksitas, dan kekomprehensifan pengetahuan yang dikuasai.
Uraian jenjang pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian yaitu penguasaan hard skills (teori, dan praktik) dan soft skill. Penguasaan hard skill dari segi kedalaman dan kekomplekannya berjenjang. Penguasaan soft skill pada semua jenjang pada dasarnya meliputi keterampilan berkomunikasi sesuai dengan bidang kerjanya yang meliputi komunikasi verbal dan tertulis. Keterampilan berkomunikasi diperlukan pada semua jenjang kualifikasi, sehingga dapat dikatakan merupakan keterampilan yang mutlak diperlukan dan seharusnya diajarkan di pendidikan kejuruan. Selain life skills, hal yang tak kalah penting bagi tenaga kerja Indonesia adalah peningkatan kemampuan Bahasa Inggris dan penguasaan Teknologi Informasi (TI). Diharapkan, melalui penerapan life skills, penguasaan TI dan bahasa Inggris, tenaga kerja Indonesia dapat berkompetisi dengan tenaga kerja negara-negara ASEAN lainnya. Lebih jauh lagi, guna menjadi pemenang di kancah regional MEA, ada baiknya jika tenaga kerja Indonesia juga diberi bekal keterampilan bahasa ASEAN lainnya, seperti bahasa Thai. (2) Membangun keselarasan (link & match). Diupayakan, pendidikan kejuruan lebih mengarah kepada demand-driven dari pada supply-driven yang dilakukan melalui pembelajaran yang lebih aktual tidak sekadar tekstual, lebih konkret dari pada abstrak, yang lebih merujuk ke realitas dari pada artifisial, lebih nyata dari pada maya, dan ini semua menuntut pendidikan kejuruan secara proaktif mendekatkan diri dengan dunia kerja. Mengajarkan kewirausahaan kepada peserta didik SMK melalui pengetahuan, penyadaran, dan praktek-praktek yang nyata tentang kewirausahaan. (3) Sebagai Job Creator, Job Seeker dan High Degree Pursuer merupakan suatu keterampilan yang menjadi tuntutan kebutuhan menuju Masyarakat AESAN. Dalam hal ini, output ataupun lulusan pendidikan kejuruan dan pendidikan vokasi yang memungkinkan dapat menghasilkan calon pemimpin cendekia yang profesional, baik sebagai tenaga kerja pada  bidang  keahliannya,  maupun kemampuan untuk melihat kesempatan dan menciptakan lapangan kerja baru (Mukhadis 2009).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan, Pendidikan Kejuruan dapat berperan maksimal dalam menghadapi MEA melalui komitmen kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat luas, terhadap program-program SMK yang relevan dengan kebutuhan MEA dalam menghasilkan lulusan atau sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan berkualitas serta siap bersaing di tingkat ASEAN dan global.

Jumat, 04 September 2015

5 Negara Maju dengan Sistem Pendidikan Tanpa UN

5 Negara Maju Tanpa Ujian Nasional

5 Negara Maju Tanpa Ujian Nasional - Sekarang lagi musim Ujian Nasional. Untuk Apakah Ujian Nasional Sebetulnya? Apakah Ujian nasional mutlak diperlukan? Berikut 5 Negara Maju Tanpa Ujian Nasional dan ternyata tidak menerapkan ujian nasional pada sistem pendidikannya...

1. Findlandia

Finlandia sebagai negara dengan system pendidikan termaju di dunia tidak mengenal yang namanya Ujian Nasional. Evaluasi mutu pendidikan sepenuhnya dipercayakan kepada para guru sehingga negara berkewajiban melatih dan mendidik guru guru agar bisa melaksanakan evaluasi yang berkualitas. Setiap akhir semester siswa menerima laporan pendidikan berdasarkan evaluasi yang sifatnya personal dengan tidak membandingkan atau melabel para siswa dengan peringkat juara seperti yang telah menjadi tradisi pendidikan kita. Mereka sangat meyakini bahwa setiap individu adalah unik dan memiliki kemampuan yang berbeda beda.
Di Finlandia profesi guru adalah profesi yang paling terhormat. Dokter justru berada dibawah peringkat guru.

2. Amerika

Amerika yang terdiri dari banyak negara bagian ternyata tidak pernah menyelenggarakan UN atau ujian negara secara nasional.
Walaupun ada ujian yang diselenggarakan oleh masing-masing state (negara bagian), namun tidak semua sekolah diwajibkan mengikuti ujian negara bagian. Tiap negara bagian juga mempunyai materi ujian-masing masing.
Sekolah-sekolah tetap boleh menyelenggarakan ujian sendiri dan menentukan kelulusannya sendiri..
Semua lulusan, baik lulusan yang disenggarakan oleh sekolahnya sendiri atau lulus ujian yang diselenggarakan negara bagian, tetap boleh mengikuti ujian mauk ke college ataupun universitas asal memenuhi persyaratan dan lulus tes masuk.
Logika pendidikan yang digunakan yaitu: Kualitas pendidikan ditentukan oleh individu masing-masing kelulusan. Walaupun Si A lulusan dari SMA pinggiran yang tidak terkenal, kalau dia lulus tes masuk ke Universitas Harvard, maka diapun akan diterima di universitas tersebut.Jadi masalah kualitas ditentukan oleh individu (individual quality).

Pakar pendidikan dari Columbia University, Linda Hammond (1994)
Berpendapat bahwa nasionalisasi ujian sekolah tidak bisa memberi kreativitas guru. Sekolah tidak bisa menciptakan strategi belajar sesuai dengan perbedaan kondisi sosial, ekonomi, budaya, serta kemajuan teknologi. Sistem pendidikan top down oriented, tak bisa menjawab masalah yang ada di daerah-daerah berbeda.

3. Jerman

Jerman tidak mengenal ujian nasional. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan:
(1) menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi
pendidik;
(2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru;
(3) menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar;
(4) evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.

Melalui model pembelajaran yang seperti inilah, yaitu peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya,
kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar yang menjadikan sekolah di Jerman mampu menghasilkan rakyat yang beretos kerja tinggi, peduli mutu, dan gemar belajar.

Mereka setiap hari belajar selalu mendapat tugas dari semua mata pelajaran yang proses maupun hasilnya dinilai dan nilai-nilai ini memengaruhi nilai akhir semester dan seterusnya.

4. Kanada

Di Kanada tidak ada Ujian Nasional karena dianggap tak bermanfaat untuk kemajuan pendidikan di negara iti. Untuk kontrol kualitas di Kanada terdapat penjaminan mutu pendidikan yang kontrolnya sangat kuat. Lembaga penjamin mutu ini benar-benar bekerja secara ketat dari pendidikan dasar hingga menengah. Sehinga murid yang akan masuk ke perguruan tinggi cukup dengan rapor terakhir.
Di Kanada, perguruan tinggi tidak sulit lagi untuk menerima murid darimana pun sekolahnya. Karena standar sekolah di sana sudah sesuai dengan standar perguruan tinggi yang akan dimasuki setiap lulusan sekolah.

Kebalikan dengan di Indonesia, perguruan tinggi banyak yang tidak percaya dengan lulusan sekolah menengah. Saling tidak percaya standar ini yang menyebabkan pemborosan keuangan negara karena harus menyelenggarakan UN dan ujian mandiri.

5. Australia

Di Negara Australia ini, ujian nasional tidak dilaksanakan bahkan tidak dikenal sama sekali, melainkan ujian state. Ujian ini tidak menentukan lulus tidaknya para peserta didik, namun untuk menentukan kemana siswa tersebut akan melanjutkan pendidikan. Berapapun nilai yang didapatkan oleh siswa dari ujian tersebut tetap dinyatakan lulus. Nilai nol pun tetap dinyatakan lulus, namun kelulusan tersebut tidak ada gunanya. Berarti siswa tersebut akan sangat sulit untuk melanjutkan pendidikannya.

Sumber ;@ Faktual Line

Rabu, 20 Mei 2015

KURIKULUM KEJURUAN

Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan
         
SMK menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (diklat) berbagai program pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Program pendidikan di SMK sesuai  dengan spektrum keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 251/C/KEP/MN/2008,  di kelompokkan ke dalam enam bidang studi keahlian yaitu: (1) teknologi dan rekayasa; (2) teknologi informasi dan komunikasi; (3) kesehatan; (4) seni, kerajinan, dan pariwisata; (5) agribisnis dan agroteknologi; dan (6) bisnis dan manajemen. Masing-masing bidang studi keahlian memiliki program studi keahlian, dan masing-masing program studi keahlian memiliki kompetensi keahlian.  

Merujuk kepada naskah kurikulum SMK edisi 2006, kurikulum SMK dirancang menggunakan pendekatan: (1) akademik; (2) kecakapan hidup (life skills); (3) pendekatan kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum); (4) pendekatan kurikulum berbasis luas dan mendasar (broad-based curriculum); dan (5) pendekatan kurikulum berbasis produksi (production-based curriculum). Harapannya adalah: (1) lulusan SMK mampu bekerja secara mandiri (wiraswasta) maupun mengisi lowongan pekerjaan yang ada; (2) keahlian lulusan SMK sesuai dengan tuntutan dunia kerja; dan  (3) lulusan SMK mampu mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Substansi atau materi yang diajarkan   di SMK disajikan dalam bentuk berbagai kompetensi yang dinilai penting dan perlu bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan sesuai dengan zamannya. Kompetensi dimaksud meliputi kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi manusia Indonesia yang cerdas dan pekerja yang kompeten, sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan oleh industri/dunia usaha/asosiasi profesi. Untuk mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan oleh industri/dunia usaha/asosiasi profesi, substansi diklat dikemas dalam berbagai mata diklat yang dikelompokkan dan diorganisasikan menjadi program Normatif, Adaptif dan Produktif. 

Program normatif adalah kelompok mata diklat yang berfungsi membentuk peserta didik menjadi pribadi utuh, yang memiliki norma-norma kehidupan sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial anggota masyarakat baik sebagai warga Negara Indonesia maupun sebagai warga dunia. Program normatif diberikan agar peserta didik bisa hidup dan berkembang selaras dalam kehidupan pribadi, sosial dan bernegara. Program ini berisi mata diklat yang lebih menitikberatkan pada norma, sikap dan perilaku yang harus diajarkan, ditanamkan, dan dilatihkan pada peserta didik, di samping kandungan pengetahuan dan keterampilan yang ada di dalamnya. Mata diklat pada kelompok normatif berlaku sama untuk semua program keahlian.

Program adaptif adalah kelompok mata diklat yang berfungsi membentuk peserta didik sebagai individu agar memiliki dasar pengetahuan yang luas dan kuat untuk menyelesaikan diri atau beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sosial, lingkungan kerja serta mampu mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Program adaptif berisi mata diklat yang lebih menitikberatkan pada pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk memahami dan menguasai konsep dan prinsip dasar ilmu dan teknologi yang dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari dan atau melandasi kompetensi untuk bekerja.  

Program adaptif diberikan agar peserta didik tidak hanya memahami dan menguasai “ apa “ dan “ bagaimana “ suatu pekerjaan dilakukan, tetapi memberi juga pemahaman dan penguasaan tentang “mengapa“ hal tersebut harus dilakukan. Program adaptif terdiri dari kelompok mata diklat yang berlaku sama bagi semua program keahlian dan mata diklat yang hanya berlaku bagi program keahlian tertentu sesuai dengan kebutuhan masing-masing program keahlian. 

Program produktif adalah kelompok mata diklat yang berfungsi membekali peserta didik agar memiliki kompetensi kerja sesuai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Dalam hal SKKNI belum ada, maka digunakan standar kompetensi yang disepakati oleh forum yang di anggap mewakili dunia usaha/industri atau asosiasi profesi. Program produktif bersifat melayani permintaan pasar kerja, karena itu lebih banyak ditentukan oleh dunia usaha/industri atau asosiasi profesi. Program produktif diajarkan secara spesifik sesuai dengan kebutuhan tiap program keahlian. 

Pelaksanaan kurikulum dilakukan dalam kegiatan kurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan kurikuler adalah kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan struktur kurikulum, ditujukan untuk mengembangkan kompetensi peserta didik sesuai dengan bidang keahliannya. Kegiatan kurikuler dilakukan melalui kegiatan pembelajaran terstruktur sesuai dengan struktur kurikulum.  Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan diklat di luar jam yang tercantum pada struktur kurikulum. Kegiatan ini ditujukan untuk mengembangkan bakat dan minta serta  untuk memantapkan pembentukan kepribadian peserta didik. 

Pendekatan pembelajaran menggunakan pembelajaran  berbasis kompetensi yang  menganut prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning), untuk dapat menguasai sikap (attitude), ilmu pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills) agar dapat bekerja sesuai dengan profesinya seperti yang dituntut oleh suatu kompetensi. Untuk dapat belajar secara tuntas, dikembangkan prinsip pembelajaran: (1)  learning by doing  (belajar melalui aktivitas nyata yang memberikan pengalaman belajar bermakna) yang dikembangkan menjadi pembelajaran berbasis produksi; dan (2)  individualized learning  (pembelajaran dengan memperhatikan keunikan setiap individu) yang dilaksanakan dengan sistem modular.  

Jumat, 17 April 2015

COLLABORATIVE LEARNING

1.    PENGERTIAN COLLABORATIVE LEARNING
Berkolaborasi berarti bekerja bersama-sama dengan orang lain. Dalam praktiknya, pembelajaran kolaboratif berarti peserta didik bekerja secara berpasang-pasangan atau dalam kelompok kecil untuk mencapai tujuan pembelajaran bersama. Pembelajaran kolaboratif berarti belajar melalui kerja kelompok, bukan belajar dengan bekerja sendirian. (Barkley, dkk. 2012:4)
Menurut Maridi (2012) dalam pembelajaran kolaboratif siswa belajar berpasangan atau membentuk kelompok kecil dalam mencapai tujuan. Mereka membentuk kelompok belajar, tidak belajar sendiri. Collaborative learning dirancang untuk melaksanakan belajar tuntas. Pembelajaran tidak akan berhenti jika masing-masing siswa tidak memahami tujuan atau kompetensi pembelalajaran. Dalam mencapai tujuan siswa melakukan konsultasi atau sharing dengan guru.
Konsep pembelajaran kolaboratif adalah suatu metode pembelajaran yang berpotensi untuk memenuhi tantangan itu, dan dapat menawarkan sebuah cara penyelesaian tentang bagaimana berbagai masalah tersebut dapat dipecahkan dengan melibatkan keikutsertaan partisipan terkait secara kolektif dalam suatu kelompok. Kelompok pebelajar seperti ini melakukan pembelajaran secara berkolaborasi sesuai dengan masing-masing kompetensinya. Melalui pola komunikasi dan pertukaran pemikiran, cara pandang, dan hasil telaah, kelompok seperti ini dapat mengurangi solusi parsial dan meningkatkan kualitas keutuhan kelompok. Solusi parsial tidak tepat untuk sejumlah waktu dan banyak tempat, tetapi dibutuhkan bentangan spektrum solusi holistik yang bergantung pada kesesuaian waktu dan tempat. (Idris, 2012:2)
Fitur pertama dari pembelajaran kolaboratif adalah desain yang disengaja. Lazimnya, para pengajar hanya meminta para peserta didik untuk membentuk kelompok dan kemudian bekerja. Dalam pembelajaran kolaboratif, para pengajar merancang desain kegiatan pembelajaran untuk peserta didik. Pengajar dapat melakukan ini dengan cara memilih kegiatan-kegiatan yang belum terstruktur atau dengan menciptakan struktur sendiri. (Barkley, dkk. 2012:4)
Fitur kedua yang tidak kalah penting adalah kerja sama. Dalam hal ini setiap anggota kelompok harus bekerja sama secara aktif untuk meraih tujuan yang telah ditentukan. Seandainya hanya ada satu orang yang menyelesaikan tugas kelompok sementara anggota lainnya hanya melihat, cara seperti ini tidak bisa disebut sebagai pembelajaran kolaboratif. Semua anggota kelompok harus memiliki kontribusi yang setara, baik ketika mereka mengerjakan tugas yang berbeda-beda dalam sebuah proyek besar. Namun keterlibatan yang setara pun masih belum cukup. (Barkley, dkk. 2012:4)
Fitur ketiga dari pembelajaran kolaboratif adalah terjadinya proses pembelajaran yang penuh makna. Ketika peserta didik bekerja sama dalam sebuah tugas kolaboratif, mereka harus bisa mendapatkan peningkatan pengetahuan atau semakin memahami kurikulum. Tugas yang diberikan kepada kelompok harus terstruktur sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Dengan demikian, pembelajaran kolaboratif adalah perpaduan dua atau lebih peserta didik yang bekerja bersama-sama dan berbagi beban kerja secara setara dan bersama-sama mewujudkan hasil-hasil pembelajaran yang diinginkan. (Barkley, dkk. 2012:4)
Kesimpulan yang dapat diambil pembelajaran kolaboratif adalah bekerja sama secara bersama-sama untuk mencari solusi terhadap materi pembelajaran. Tujuan dari pembelajaran kolaboratif adalah mengembangkan kemampuan berfikir sendiri dan juga mengurangi watak idealisme.

2.    MENGAPA COLLABORATIVE LEARNING DIGUNAKAN
Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology for instruction), pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif para siswa dan meminimalisir perbedaan-perbedaan antar individu. Pembelajaran kolaboratif telah menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu, yaitu (Idris, 2012:20) :
a)    Realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas kolaboratif dalam kehidupan di dunia nyata.
b)   Menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan pembelajaran bermakna.
Pembelajaran kolaboratif digunakan di dalam kelas memberikan kontribusi positif terhadap pendidikan peseta didik. Ada ketertarikan yang besar terhadap dua keluaran penting yaitu (Barkley, 2012:24):
a)        Kontribusi yang diberikan oleh pembelajaran kelompok terhadap penguasaan konten, berpikir kritis, penyelesaian masalah, dan atribut kognitif lainnya.
b)        Kontribusi yang diberikan pada pembelajaran kelompok terhadap perkembangan keterampilan interpersonal dan faktor-faktor non kognitif lainnya yang dihargai dalam karier dan kehidupan sebagai warga negara.

3.    KARAKTERISTIK COLLABORATIVE LEARNING
Dijelaskan dalam (Barkley, dkk. 2012:13) karakteristik dari collaborative learning adalah sebagai berikut:
a)    Interdepensi positif yaitu keberhasilan dari masing-masing individual berkaitan dengan keberhasilan kelompok. Individual akan mencapai tingkat keberhasilan yang sama dengan tingkat keberhasilan kelompok. Sehingga peserta didik termotivasi untuk membentuk satu sama lain untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok.
b)   Interaksi yang mendukung, yaitu para peserta didik diharapkan untuk saling mendukung dan membantu satu sama lain. Setiap anggota berbagi sumber daya dan dukungan serta mendukung usaha satu sama lain untuk belajar.
c)    Akuntabilitas individual dan kelompok, yaitu setiap kelompok memiliki rasa tanggung jawab untuk mencapai tujuannya. Setiap anggota bertanggung jawab untuk memberikan kontribusinya terhadap pekerjaan; para peserta didik dinilai secara individual.
d)   Pengembangan keterampilan kerja tim, yaitu para peserta didik dituntut untuk mempelajari materi (tugas kerja) akademis dan juga memperlajari keterampilan interpersonal dan kelompok kecil yang dibutuhkan untuk dapat berfungsi sebagai bagian dari sebuah kelompok (kerja tim). Keterampilan kerja tim harus diajarkan “dengan sama bertujuan dan tepatnya dengan keterampilan akademik”.
e)    Pemrosesan kelompok, yaitu para peserta didik harus belajar evaluasi produktivitas kelompok mereka. Mereka harus mendiskripsikan tindakan-tindakan anggota yang seperti apakah yang paling membantu dan tidak membantu, dan mereka juga harus membuat keputusan mengenai apa saja yang harus diteruskan dan diubah.

4.    SINTAK PADA COLLABORATIVE LEARNING
Menurut Idris (2012:22) langkah-langkah prosedur pembelajaran kolaboratif dijelaskan sebagai berikut:
a)    Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan belajar dan membagi tugas sendiri-sendiri.
b)   Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan menulis.
c)    Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi mengidentifikasi, mendemontrasikan, meneliti, menganalisis, dan memformulasikan jawaban-jawaban tugas atau masalah dalam LKS atau masalah yang ditemukan sendiri.
d)   Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan masalah, masing-masing siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara lengkap.
e)    Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (selanjutnya diupayakan agar semua kelompok dapat giliran ke depan) untuk melakukan presentasi hasil diskusi kelompok kolaboratifnya di depan kelas, siswa pada kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi. Kegiatan ini dilakukan selama lebih kurang 20-30 menit.
f)    Masing-masing siswa dalam kelompok kolaboratif melakukan elaborasi, inferensi, dan revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan dikumpulkan.
g)   Laporan masing-masing siswa terhadap tugas-tugas yang telah dikumpulkan, disusun perkelompok kolaboratif.
h)   Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada pertemuan berikutnya, dan didiskusikan.
Menurut Maridi (2012) metode pengembangan sistem pembelajaran dan implementasinya dapat diuraikan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a)    Tahap Awal atau Sosialisasi
Pada tahap ini dilakukan sharing dengan guru lewat forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) mata pelajaran untuk mendiskusikan seputar pelaksanaan pembelajaran di sekolah
b)   Tahap Identifikasi Masalah Dalam Pelaksanaan
Dari hasil pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung, nampak para peserta didik cenderung pasif dan kurang bergairah. Pendekatan yang dilakukan oleh pendidik lebih bersifat kognitivisme, sehingga para peserta didik kurang banyak terlibat dalam membangun teori mengenai strategi pembelajaran. Hasil pembelajaran diidentifikasikan kurang bermakna disebabkan implementasi model pembelajaran yang telah teridentifikasi tersebut. Kemudian digunakan model collaborative learning sebagai alternatif inovasi pembelajaran strategi belajar mengajaar.
c)    Tahap Perencanaan dan Penyusunan Model Pembelajaran
Pada tahapan ini pendidik menyusun perangkat model pembelajaran. Perangkat ini meliputi perencanaan program media pendukung yang digunakan, administrasi, dan supersive, serta instrumen evaluasi pelaksanaan pembelajaran mata pelajaran.
d)   Tahap pelaksanaan
Model collaborative learning yang telah siap dioperasikan, kemudian dicobakan. Hal ini diawali dengan penjelasan singkat di kelas, selanjutnya para peserta didik pergi menuju sekolah target untuk berkolaborasi melakukan pengamatan terhadap kegiatan pendidik yang sedang mengajar.
e)    Tahap Evaluasi dan Refleksi
Tahap ini dilakukan terhadap pelaksanaan proses pembelajaran yang dilakukan, baik di lapangan maupun di kelas. Hasil pembelajaran diperoleh dengan membuat instrumen evaluasi dan melaksanakan ujian/kuis/tes. Dari hasil tersebut diketahui kebermaknaan hasil belajar dengan model yang digunakan. Keseluruhan hasil belajar dijadikan bahan refleksi model collaborative learning yang telah dilaksanakan.
f)    Tahap Tindak Lanjut
Tindak lanjut berorientasi kepada hasil refleksi yang telah dilakukan, dimana model collaborative learning telah diyakini sebagai model pembelajaran yang dipilih untuk mata pelajaran dengan tahap siklus berikutnya, sehingga ada peningkatan kualitas pembelajaran dan kebermaknaan pemahaman mata pelajaran.

5.    ANALISIS LANDASAN YANG DIGUNAKAN
a)   Landasan Neurologis
Riset terkini yang dilakukan pada otak oleh para ilmuwan syaraf menambahkan dimensi ke dalam pengetahuan tentang pembelajaran. Anak dilahirkan dengan sekitar 100milyar neuron yang terkandung dalam otaknya. Sepanjang hidup mereka akan menumbuhkan otak dengan terus menerus membuat koneksi-koneksi di dalam sirkuit otak melalui pengalaman dan pembelajaran. Kerja otak dalam pembelajaran kolaboratif adalah “melalui sebuah proses yang mirip dengan persaingan, sehingga otak akan mengeleminasi koneksi-koneksi atau sinapse-sinapse yang jarang atau tidak pernah digunakan” (Nash, 1997:50 dalam Barkley, dkk. 2012:17). Para peneliti menemukan bahwa anak-anak yan tidak mendapat stimulasi, cenderung memiliki otak yang 20-30 persen lebih kecil dibandingkan ukuran normal otak anak dengan usia yang sama. Dengan adanya pembelajaran kolaboratif yang mengharuskan anak aktif dan konstruktif serta mempunyai daya sosial maka otak anak akan berkembang.

b)   Landasan Kognitif
Sains kognitif modern mempostulasikan sebuah struktur pikiran yang dikenal sebagai skema atau dalam bentuk pluralnya dikenal sebagai skemata. Sebuah skema adalah, sebuah struktur kognitif yang terdiri atas banyak fakta, ide, dan asosiasi yang diorganisir ke dalam sebuah sistem hubungan yang bermakna.
Apa yang dapat dipelajari oleh peserta didik tergantung sampai batasan yang lebih luas dari yang diasumsikan sebelumnya, pada apa yang mereka ketahui. Akan lebih mudah untuk mempelajari sesuatu apabila kitas sudah memiliki beberapa latar belakang mengenai hal tersebut sebelumnya dibandingkan ketika harus mempelajari sesuatu yang benar-benar baru.
Menurut Barkley dkk (2012:19) landasan kognitif yang digunakan dalam pembelajaran kolaboratif disebutkan sebagai berikut:
1)   Pembelajaran adalah memperoleh informasi atau mengetahui lebih banyak.
2)   Pembelajaran adalah mememorikan atau menyimpan informasi.
3)   Pembelajaran adalah memperoleh fakta-fakta dan keterampilan yang dapat digunakan.
4)   Pembelajaran adalah memahami atau memaknai berbagai macam bagian informasi.
5)   Pembelajaran melibatkan pengertian atau pemahaman terhadap dunia dengan menginterpretasikan kembali pengetahuan.
Landasan kognitif berkaitan dengan terjadinya pertukaran konsep antar anggota kelompok pada pembelajaran kolaboratif. Sehingga dalam suatu kelompok akan terjadi proses transformasi ilmu pengetahuan pada setiap anggota.

c)    Landasan Filosofis
Ide pembelajaran kolaboratif bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. (Idris, 2012:14)
Dewey menganjurkan agar dalam lingkungan belajar guru menciptakan lingkungan sosial yang dicirikan oleh lingkungan demokrasi dan proses ilmiah. Tanggung jawab utama para guru adalah memotivasi siswa untuk bekerja secara kolaboratif dan memikirkan masalah sosial yang berlangsung dalam pembelajaran. Di samping upaya pemecahan masalah di dalam kelompok kolaboratif, dari hari ke hari siswa belajar prinsip demokrasi melalui interaksi antar teman sebaya. Dalam konteks sosial, secara teoretik pembelajaran kolaboratif berfungsi sebagai laboratorium demokrasi bagi siswa untuk menjadi warga negara demokratis dengan berinteraksi seputar isu-isu bermanfaat melalui pembentukan visi tentang masyarakat yang baik. Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam pendekatan group-investigation untuk pembelajaran kolaboratif (Idris, 2012:15).

d)   Landasan Sosial
Landasan sosial yang diaplikasikan pada pembelajaran kolaboratif adalah peserta didik dikelompokkan ke dalam kelompok dengan berbagai macam latar belakang, tetapi cukup untuk membentuk sebuah dasar umum untuk berkomunikasi. Semua peserta didik dipaparkan pada konsep-konsep dan pemahaman yang berada dalam kemampuan penangkapan mereka, tetapi yang belum menjadi bagian dari pemahaman pribadi mereka. Hal tersebut memungkinkan masing-masing perserta didik untuk belajar dari peserta didik lainnya sebuah konsep yang berada di luar tingkat perkembangan mereka. Sehingga, secara teoritis mahasiswa dengan tingkat akademis yang buruk akan mampu belajar lebih banyak dari peserta didik yang lebih siap dan demikian pula sebaliknya (Barkley, dkk 2012:20).
Pada landasan ini terlihat adanya interaksi sosial antar anggota yang akan membantu perkembangan individu dan meningkatkan sikap saling menghormati pendapat semua anggota kelompok.


Daftar Rujukan
Barkley, Elizabert. 2012. Collaborative Learning Techniques. Bandung: Nusa Media
Idris, Muhammad. 2012. Model-Model Pembelajaran Kolaborasi dan Strategi Pengembangannya. (online), (https://www.academia.edu/4276716/MUHAMMAD_IDRIS_MA_PEMBELAJARAN_KOLABORASI), diakses pada tanggal 12 April 2015
Maridi. Penerapan Model Collaborative Learning. (online), (http://download.portalgaruda.org/article.php?article=107157&val=4058), diakses pada tanggal 12 April 2015
Sumarli, Eka Murdani. Model Pembelajaran Kolaboratif dengan Tutor Sebaya pada Pokok Bahasan Rangkaian Seri-Paralel Hambatan Listrik. (online), (http://pf.uad.ac.id/wp-content/uploads/09-Model-Pembelajaran-Kolaboratif-Sumarli.pdf), diakses pada tanggal 17 April 2015