Minggu, 16 November 2014

Model Pembelajaran Pendidikan Kejuruan



MODEL PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN SOSIAL
A.    PENDAHULUAN
Sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan menengah kejuruan merupakan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu, kemampuan beradaptasi di lingkungan kerja, melihat peluang kerja dan mengembangkan diri di kemudian hari. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 15 bahwa “Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang keahlian tertentu”.
Tingginya angka pengangguran di Indonesia saat ini serta rendahnya angka siswa melanjutkan ke perguruan tinggi merupakan beberapa masalah yang harus dipikirkan oleh pengelola sekolah kejuruan. Sehingga salah satu isu penting saat ini adalah mengembalikan fungsi dan peran sekolah menengah kejuruan sebagai salah satu solusi menyiapkan lulusan yang memiliki keterampilan yang dapat diserap bursa kerja maupun dapat melanjutkan ke perguruan tinggi.
Melalui makalah ini guru sekolah kejuruan dapat memahami kerangka pembelajaran yang ditinjau dari suatu pendekatan sosial yang harus dilakukan untuk dalam memenuhi kebutuhan life skills. Guru juga perlu pengenalan makna dan teori belajar secara lebih baik dalam rangka membimbing dan membina siswa agar lebih mandiri dan memiliki keinginan untuk merekonstruksi dunia belajar ke dunia kerja. Ini sangat penting karena hingga saat ini pandangan ahli pendidikan tentang sekolah kejuruan masih mendua, sebagian ahli pendidikan mengatakan bahwa “learning to know is most important, application can come later” sedangkan pendapat lain mengatakan “learning to do is most important, knowledge hill somehow seep into the process.”
B.     RINGKASAN KAJIAN
Ringkasan kajian dari makalah yang dibahas adalah sebagai berikut:
1.      Pengertian teori pembelajaran dengan pendekatan sosialis
2.      Implikasi Pendekatan Sosial dalam Pendidikan Kejuruan
3.      Model-model Pembelajaran dengan Pendekatan Sosial
4.      Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran dengan pendekatan sosialis
C.    DESKRIPSI KAJIAN
1.      Pengertian teori Pembelajaran Sosial
Teori Pembelajaran Sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat-isyarat perubahan perilaku. Dalam teori pembelajaran sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain.
Teori ini menekankan bahwa lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan,lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh seseorang melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana dikutip oleh Kard(1997:14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modeling), berikut ke-4 unsurutama dalam peniruan yang ada pada pemodelan (modeling), yaitu:
a)      Fase Memperhatikan (attentional phase)
Fase ini merupakan dasar dari suatu proses pengamatan. Tidak adanya perhatian yang terpusat, sulit bagi individu untuk melakukan pengamatan dan pembelajaran secara intensif. Berkembangnya perhatian individu terhadap suatu obyek berkaitan erat dengan daya ingatnya. Bagi remaja tertarik dan menaruh perhatian terhadap perilaku model tertentu, akrena model tersebut dipandangnya sebagai yang hebat, unggul, berkuasa, anggun berwibawa. Selain itu, berkembangnya perhatian oleh adanya kebutuhan dan minat pribadi. Untuk menarik perhatian para peserta didik, guru dapat mengekspresikan suara dengan intonasi khas ketika menyajikan pokok materi atau bergaya dengan mimik tersendiri ketika menyajikan contoh perilaku tertentu. Semakin erat hubungannya antara kebutuhan dan minat perhatian, semakin kuat daya tariknya terhadap perhatian tersebut, dan demikian sebaliknya.

b)      Fase Menyimpan (retention phase)
Setelah fase memperhatikan, seorang individu akan memperlihatkan tingkah laku yang sama dengan model tersebut. Ini berarti individu mengingat dan menyimpan stimulus yang diterimanya dalam bentuk simbol-simbol. Menurut Bandura, bentuk-bentuk simbol tersebut tidak hanya diperoleh melalui pengamatan visual, tetapi juga verbalisasi. Pada anak-anak yang kekayaan verbalnya terbatas, maka kemampuan menirunya terbatas pada kemampuan untuk melakukan simbolisasi melalui pengamatan visual.
c)      Fase Memproduksi (reproduction phase)
Pada tahap reproduksi, segala bayangan/citra mental (imagery) atau kode-kode simbolis yang berisi informasi penghetahuan dan perilaku yang telah tersimpan dalam memori para peserta didik itu diproduksi kembali. Untuk mengidentifikasi tingkat penguasaan para peserta didik, guru dapat menyuruh membuat atau melakukan lagi apa-apa yang telah mereka serap misalnya dengan menggunakan sarana post-test.
d)     Fase Motivasi (motivation phase)
Tahap terakhir dalam proses terjadinya peristiwa atau perilkau belajar adalah tahap penerimaan dorongan yang berfungsi sebagai reinforcement “penguatan” bersemayamnya segala informasi dalam memori peserta didik. Pada tahap ini, guru dianjurkan untuk member pujian, hadiah, atau nilai tertentu kepada peserta didik yang berkinerja memuaskan. Sementara itu, kepada mereka yang belum menunjukkan kinerja yang memuaskan perlu diyakinkan akan arti penting penguasaan materi atau perilaku yang disajikan model (guru) bagi kehidupan mereka. Seiring dengan upaya ini, ada baiknya ditunjukkan pula bukti-bukti kerugian orang yang tidak menguasai materi atau perilkau tersebut


  
Model pembelajaran merupakan cara/teknik penyajian yang digunakan guru dalam proses pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran. Ada beberapa model-model pembelajaran seperti ceramah, diskusi, demonstrasi, studi kasus, bermain peran (role play) dan lain sebagainya. Yang tentu saja masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Metode/model sangat penting peranannya dalam pembelajaran, karena melalui pemilihan model/metode yang tepat dapat mengarahkan guru pada kualitas pembelajaran efektif.
Model sosial (social family) menekankan pada usaha mengembangkan kemampuan siswa agar memiliki kecakapan untuk berhubungan dengan orang lain sebagai usaha membangun sikap siswa yang demokratis dengan menghargai setiap perbedaan dalam realitas sosial. Inti dari sosial model ini adalah konsep sinergi yaitu energi atau tenaga (kekuatan) yang terhimpun melalui kerjasama sebagai salah satu fenomena kehidupan masyarakat. Dengan menerapkan model sosial, pembelajaran di arahkan pada upaya melibatkan peserta didik dalam menghayati, mengkaji, menerapkan dan menerima fungsi dan peran sosial. Model sosial ini dirancang untuk memanfaatkan fenomena kerjasama, membimbing para siswa mendefinisikan masalah, mengeksplorasi berbagai cakrawala mengenai masalah, mengumpulkan data yang relevan, dan mengembangkan serta mengetes hipotesis, oleh karena itu guru seharusnya mengajarkan proses demokratis secara langsung jadi pendidikan harus diorganisasikan dengan cara melakukan penelitian bersama (cooperative inquiry) terhadap masalah-masalah sosial dan masalah-masalah akademis.
2.    ANALISIS KRITIS MATERI KAJIAN
1.      Implikasi Pendekatan Sosial dalam Pendidikan Kejuruan
Pendekatan social demand adalah pendekatan dalam perencananan pendidikaan yang didasarkan atas tuntutan atau kebutuhan sosial akan pendidikan. Pengertian kebutuhan atau tuntutan sosial itu berwayuh arti dan menyesatkan. Masyarakat yang manakah yang dijadikan ukuran? Lagi pula kebutuhan manakah yang dimaksudkan, sekarang atau masa yang akan datang? Dan masa yang akan datang itu kapan?. Biasanya pengertian kebutuhan sosial itu menunjuk kepada kebutuhan yang brsifat populer. Kebutuhan itu terasa apabila terjadi jurang antara penyediaan dan kebutuhan. Memang kebutuhan itu dapat dipengaruhi oleh pemerintah, memang lebih mudah menaikkan kebutuhan daripada menurunkan kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Mengukur kebutuhan sosial akan pendidikan itu sangat sulit, bahkaan kadang-kadang tidak mungkin, kecuali kalau ada wajib belajar dan data demografi (Vembriarto,1985:47).
Pendekatan kebutuhan sosial, oleh para ahli disebut pendekatan yang bersifat tradisional, karena fokus atau tujuan yang hendak dicapai dalam pendekatan kebutuhan sosial ini lebih menekankan pada: (1) tercapainya pemenuhan kebutuhan atau tuntutan seluruh individu terhadap layanan pendidikan dasar; (2) pemberian layanan pembelajaran untuk membebaskan populasi usia sekolah dari tuna aksara (buta huruf); dan (3) pemberian layanan pendidikan untuk membebaskan rakyat dari rasa ketakutan dari penjajahan, dari kebodohan dan dari kemiskinan. Oleh karena itu pendekatan kebutuhan sosial ini biasanya dilaksanakan  pada negara-negara yang baru meraih kemerdekaan dari penjajahan, dengan kondisi masyarakat pribumi yang terbelakang pendidikannya dan kondisi sosial ekonominya.
Apabila pendekatan kebutuhan sosial ini dipakai, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan atau diperhatikan oleh penyusun perencanaan dalam merancang perencanaan pendidikan, antara lain: (1) melakukan analisis tentang pertumbuhan penduduknya; (2)  melakukan analisis tentang tingkat partisipasi warga masyarakatnya dalam pelaksanaan pendidikan, misalnya melakukan analisis persentase penduduk yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan, yang dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan; (3) melakukan analisis tentang dinamika atau gerak (mobilitas) peserta didik dari sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi, misalnya kenaikan kelas, kelulusan, dan dropout; (4) melakukan analisis tentang minat atau keinginan warga masyarakat tentang jenis layanan pendidikan di sekolah; (5) melakukan analisis tentang tenaga pendidik dan kependidikan yang dibutuhkan, dan dapat difungsikan secara maksimal dalam proses layanan pendidikan; dan (6) melakukan analisis tentang keterkaitan antara output satuan pendidikan dengan tuntutan masyarakat atau kebutuhan sosial di masyarakat (Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007; Usman, H. 2008).
Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan yang mengandung misi pembebasan terutama bagi negara-negara berkembang yang kemerdekaannya baru saja diperoleh setelah melalui perjuangan pembebasan yang amat lama. Pendidikan membebaskan rakyat dari ketakutan, dari pen­jajahan, dari kebodohan, dan dari kemiskinan. Misi pembebasan yang menjiwai tuntutan terhadap pendidikan merup.i­kan aspirasi politik rakyat, karena itu tuntutan sosial ini merupakan tekanan keras bagi penyelenggara pendidikan.
a.       Konstruktivisme Sosial Untuk Pengajaran
Pendekatan konstruktivis sosial menggunakan sejumlah inovasi di dalam pembelajaran di kelas. Beberapa pendapat mengenai pendekatan konstruktivis sosial seperti yang dikutip John W. Santrock (2008 : 390)
1.      Bearison & Dorsal (2008) bahwa secara umum pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikonstruksi secara bersama (mutual).
2.      Gauvain (2001) keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama.
3.      Jonson & Jonson (2003) pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran murid.
Teori konstruktivis sosial Vygotsky menyebutkan bahwa anak berada dalam konteks sosiohistoris. Vygotsky seperti yang dikutip John W. Santrock (2008 : 390) menekankan bahwa murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur dimana murid tinggal, yang mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/keterampilan. Selanjutnya dalam pendekatan konstruktivis Piaget menurut John W. Santrock (2008 : 390), murid mengkonstruksi pengetahuan dengan mentrans-formasikan, mengorganisasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan dan informasi sebelumnya.
Piaget menekankan bahwa guru seharusnya memberi dukungan bagi murid untuk mengeksplorasi dan mengembangkan pemahaman. Vygotsky menekankan bahwa guru harus menciptakan banyak kesempatan bagi murid untuk belajar dengan guru dan teman sebaya dalam mengkonstruksi pengetahuan bersama. Dalam model Piaget dan Vygotsky , guru berfungsi sebagai fasilitator dan membimbing ketimbang sebagi pengatur dan pembentuk pembelajaran anak.
b.      Implementasi Konstruktivisme Sosial pada Sekolah Menengah Kejuruan
Proses pembelajaran akan lebih bermakna jika pada akhir proses pembelajaran dapat secara langsung memotivasi siswa untuk memahami sekaligus membangun arti baru. Untuk itu guru dalam pendekatan konstruktivisme harus berfungsi sebagai fasilitator aktif, terutama dalam memandu siswa untuk mempertanyakan asumsi mereka serta melatih siswa dalam merekonstruksi makna baru dari sebuah pengetahuan.
Guru konstruktivis lebih tertarik untuk membongkar sebuah makna daripada menentukan suatu materi. Dengan demikian peran guru dalam pembelajaran konstruktivisme adalah menyediakan pengalaman belajar bagi siswa, memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa, menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif, serta memonitor dan mengevaluasi hasil belajar siswa.
Pendekatan konstruktivisme untuk sekolah kejuruan sangatlah penting karena siswa belajar dalam lingkungan dan tempat kerja. Praktik kerja dalam sekolah kejuruan memang berisiko tinggi, tetapi jika guru bertindak benar baik sebagai fasilitator maupun pemandu, guru dapat membantu siswa dalam belajar merekonstruksi pikiran mereka melalui sebuah keadaan secara bersama-sama.
Aktivitas adalah salah satu faktor dalam konstruksi pengetahuan, dan keikutsertaan siswa dalam seluruh aktivitas dan interaksi pembelajaran setiap hari merupakan kekuatan untuk mengakses informasi dan keterampilan yang lebih tinggi. Bertambahnya pengalaman secara rutin dan langsung dalam melakukan suatu pekerjaan akan memberikan siswa kemampuan untuk memecahkan masalah secara efektif, reflektif dan berkesinambungan.
Pada sekolah kejuruan, ada beberapa program yang dapat dilakukan sebagai penerapan pendekatan pemelajaran konstruktivisme ini. Diantaranya adalah program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) dan Teaching Factory (TF).
1.      Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
PSG pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu. PSG merupakan suatu strategi yang mendekatkan peserta didik ke dunia kerja dan ini adalah strategi proaktif yang menuntut perubahan sikap dan pola pikir siswa.
2.      Teaching Factory (TF)
Teaching Factory (TF) adalah suatu konsep pembelajaran dalam suasana sesungguhnya, sehingga dapat menjembatani kesenjangan kompetensi antara kebutuhan industri dan pengetahuan di sekolah. Proses pendekatan pembelajaran dengan TF adalah perpaduan antara pendekatan pembelajaran CBT (competency based training) dan PBT (production based training). CBT memberikan penekanan pada apa yang dapat dilakukan siswa dari hasil belajar yang sudah diperoleh baik pemahaman pengetahuan maupun keterampilan. PBT adalah suatu proses pembelajaran keahlian atau keterampilan yang dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur dan stándar kerja yang sesungguhnya (real job) untuk menghasilkan barang dan jasa sesuai dengan tuntutan pasar atau consumen.
Pada kedua macam pendekatan pembelajaran tersebut, siswa diberikan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman belajar langsung (magang). Secara tidak langsung siswa akan melalui tahap-tahap skema asimilasi dan akomodasi dari pemahaman pengetahuan yang didapatkan di sekolah dengan penerapannya di dunia usaha atau dunia industri
2.      Model-model Pembelajaran dengan Pendekatan Sosial
a)      Time Token
Model ini digunakan untuk melatih dan mengembangkan keterampilan sosial agar peserta didik tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali. Langkahnya adalah dengan mengkondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi, tiap peserta didik diberi kupon bahan pembicaraan (1 menit), peserta didik berbicara (pidato-tidak membaca) berdasarkan bahan pada kupon, setelah selesai kupon dikembalikan. Langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran sebagai berikut:
ü  Kondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi (cooperative learning / CL)
ü  Tiap peserta didik diberi kupon berbicara dengan waktu ± 30 detik. Tiap  peserta didik diberi sejumlah nilai sesuai waktu yang digunakan.
ü  Bila telah selesai bicara kupon yang dipegang peserta didik diserahkan.
ü  Peserta didik yang telah habis kuponnya tak boleh bicara lagi. Yang masih pegang kupon harus bicara sampai kuponnya habis.
ü  Sehingga semua peserta didik memiliki hak bicara yang sama, dan sampai semua peserta didik berbicara ( berpendapat).
ü  Guru dan peserta didik membuat kesimpulan bersama dari hasil diskusi.
Pada dasarnya setiap model pembelajaran memiliki kelemahan dan kelebiahan, tidak ada model pembelajaran yang hanya memiliki kelebihan saja dan tidak mempunyai kekurangan. Namun, meskipun adanya kekurangan dalam model pembelajaran, sebisa mungkin seorang guru harus profesional dalam menjalankan tugasnya itu. Jadi, pengajar harus memaksimalkan penggunaan model pembelajaran yang ia pilih untu mengajar, meminimalisir kekurangan itu terjadi.  Berikut ini akan dibahas mengenai kelebihan dan kekurangan model pembelajaran time token:
Keuntungan dan kelemahan model pembelajaran kooperatif:
Sharan mengatakan bahwa bembelajaran dengan sistem pengelompokan dapat menyebabkan berpindahnya motivasi dari tataran eksternak pada tataran internal. Dengan kata lain, pada saat siswa bekerjasama dalam menyelesaikan sebuah tugas, mereka  akan  tertarik  pada  materi  pembelajaran  tersebutkarena  menyadari kepentingannya sebaga siswa terhadap materi tersebut.
Secara rinci keuntungan menggunakan model pembelajaran kooperatif adalah:
ü  Dapat memberikan efek yang sangat ampuh pada waktu singkat, baik dalam aspek pembelajaran, akademik, maupun aspek skill.
ü  Memberikan  pendamping  belajar  yang  menyenangkan  dan  bersama-sama mengembangkan skill bersosial serta ber empati terhadap orang lain.
ü  Dapat meningkatkan perasaan positif terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Menurut  sanjaya  keunggulan  dan  kelemahan  model  pembelajaran  kooperatif adalah:
v  Keunggulan
ü  Siswa tidak terlalu menggantungkan kepada guru, akan tetapi akan dapat menambah kepercayaan kemampuan berfikir sendiri.
ü  Dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan.
ü  Dapat membantu anak untuk merespon orang lain.
ü  Dapat memberdayakan siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar.
ü  Dapat meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial.
ü  Dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri, menerima umpan balik.
ü  Dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata.
ü  Dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berfikir.
v  Kelemahan
ü  Dengan leluasanya pembelajaran maka apabila keleluasaan itu tidak optimal maka tujuan dari apa yang dipelajari tidak akan tercapai.
ü  Penilaian kelompok dapat membutakan penilaian secara individual apabila guru tidak jeli dalam pelaksanaannya
ü  Mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan waktu yang panjang.
Itulah kelemahan dan kelebihan model pembelajaran kooperatif secara umum, sedangkan Kelebihan Model Time Token yaitu:
ü  Mendorong siswa untuk meningkatkan inisiatif dan partisipasinya.
ü  Siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali
ü  Siswa menjadi aktif dalam kegiatan pembelajaran
ü  Meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi (aspek berbicara).
ü  Melatih siswa untuk mengungkapkan pendapatnya.
ü  Menumbuhkan kebiasaan pada siswa untuk saling mendengarkan, berbagi, memberikan masukan dan keterbukaan terhadap kritik.
ü  Mengajarkan siswa untuk menghargai pendapat orang lain.
ü  Guru dapat berperan untuk mengajak siswa mencari solusi bersama terhadap permasalahan yang ditemui.
ü  Tidak memerlukan banyak media pembelajaran.
ü  Kekurangan Model Time Token Arends
ü  Hanya dapat digunakan untuk mata pelajaran tertentu saja.
ü  Tidak bisa digunakan pada kelas yang jumlah siswanya banyak.
ü  Memerlukan banyak waktu untuk persiapan dan dalam proses pembelajaran, karena semua siswa harus berbicara satu persatu sesuai jumlah kupon yang dimilikinya.
ü  Siswa yang aktif tidak bisa mendominasi dalam kegiatan pembelajaran (http://www.sriudin.com/2012/01/model-pembelajaran­ -time-token.html).
Pada intinya kelebihan dari model pembelajaran time token ini yaitu siswa akan lebih terdorong untuk menyampaikan apa yang ada di fikirannya karena terkadang banyak  siswa  yang  malu  menyampaikan  pendapatnya,  dengan  adanya  metode pembelajaran time token ini siswa yang tadinya tidak aktifpun di tuntut untuk ikut berbicara menyampaikan pendapatnya.
Dan kekurangannya yaitu siswa yang aktif yang mempunyai kemampuan lebih dari yang lainnya sibatasi untuk berbicara lebih banyak/lebih sering. Serta terkadang model pembelajaran  seperti  ini  memerlukan  waktu  yang  banyak,  karena  semua  siswa
diharapkan  bisa  belajar  menyampaikan  pendapatnya  namun  terkadang  ini  akan
membuat siswa bosan.
b)      Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning)
Pembelajaran kooperatif, merupakan model pembelajaran dengan peserta didik bekerja sama dalam kelompok kecil yang memiliki kemampuan heterogen. Mereka saling membantu menyelesaikan permasalahan dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.Pembelajaran kooperatif dilaksanakan mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut :
ü  Menyampaikan tujuan pembelajaran dan perlengkapan pembelajaran.
ü  Menyampaikan informasi.
ü  Mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok belajar.
ü  Membantu peserta didik belajar dan bekerja dalam kelompok.
ü  Evaluasi atau memberikan umpan balik.
ü  Memberikan penghargaan.
Pembelajaran kooperatif memiliki manfaat atau kelebihan yang sangat besar dalam memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih mengembangkan kemampuannya dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini dikarenakan dalam kegiatan pembelajaran kooperatif, siswa dituntut untuk aktif dalam belajar melalui kegiatan kerjasama dalam kelompok.Karli dan Yuliariatiningsih (2002: 72) mengemukakan kelebihan model pembelajaran kooperatif, yaitu:
ü  Dapat melibatkan siswa secara aktif dalam mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam suasana belajar mengajar yang bersifat terbuka dan demokratis.
ü  Dapat mengembangkan aktualisasi berbagai potensi diri yang telah dimiliki oleh siswa.
ü  Dapat mengembangkan dan melatih berbagai sikap, nilai, dan keterampilan-keterampilan sosial untuk diterapkan dalam kehidupan di masyarakat.
ü  Siswa tidak hanya sebagai obyek belajar melainkan juga sebagai subyek belajar karena siswa dapat menjadi tutor sebaya bagi siswa lainnya.
ü  Siswa dilatih untuk bekerjasama, karena bukan materi saja yang dipelajari tetapi juga tuntutan untuk mengembangkan potensi dirinya secara optimal bagi kesuksesan kelompoknya.
ü  Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar memperoleh dan memahami pengetahuan yang dibutuhkan secara langsung, sehingga apa yang dipelajarinya lebih bermakna bagi dirinya.

Penggunaan pembelajaran kooperatif dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, memiliki berbagai kelebihan atau manfaat. Kelebihan berorientasi pada optimalnya kegiatan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif melalui dukungan guru dan siswa dalam pembelajaran. Selain kelebihannya, pendekatan pembelajaran kooperatif juga memiliki kelemahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Lie (1999: 29) yaitu:
Siswa yang dibagi dalam kelompok kemudian diberikan tugas. Akibatnya siswa merasa ditinggal sendiri dan karena mereka belum berpengalaman, merasa bingung dan tidak tahu bagaimana harus bekerjasama menyelesaikan tugas tersebut sehingga menimbulkan kekacauan dan kegaduhan.
Berdasarkan pendapat sebelumnya, jelas bahwa di samping kelebihan atau manfaat yang dapat dirasakan oleh siswa dalam model pembelajaran kooperatif, juga terdapat kelemahan di mana hal tersebut menuntut kemampuan guru dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif dengan mengawasi proses kerjasama dalam belajar yang dilakukan oleh siswa.
Thabrany (1993: 94) mengemukakan kelebihan atau keuntungan dan kekurangan kerja kelompok atau pembelajaran kooperatif yaitu:
Keuntungan kerja kelompok
ü  Dapat mengurangi rasa kantuk dibanding belajar sendiri.
ü  Dapat merangsang motivasi belajar.
ü  Ada tempat bertanya.
ü  Kesempatan melakukan resitasioral.
ü  Dapat membantu timbulnya asosiasi dengan peristiwa lain yang mudah diingat.
Kekurangan kerja kelompok
Bisa menjadi tempat mengobrol atau gosip. Sering terjadi debat sepele di dalam kelompok, bisa terjadi kesalahan kelompok. Kelebihanpembelajaran kooperatif di atas, berikut diuraikan satu-per satu:
ü  Dapat mengurangi rasa kantuk dibanding belajar sendiri
Jika belajar sendiri sering kali rasa bosan timbul dan rasa kantuk pun datang. Apalagi jika mempelajari pelajaran yang
kurang menarik perhatian atau pelajaran yang sulit. Dengan belajar bersama, orang punya teman yang memaksa aktif
dalam belajar. Demikian pula ada kesempatan bersenda gurau sesedikit mungkin untuk mengalihkan kebosanan.
ü  Dapat merangsang motivasi belajar
Melalui kerja kelompok, akan dapat menumbuhkan perasaan ada saingan. Jika sudah menghabiskan waktu dan tenaga yang sama dan ternyata ada teman yang mendapat nilai lebih baik, akan timbul minat mengejarnya. Jika sudah berada di atas, tentu ingin mempertahankan agar tidak akan dikalahkan teman-temannya.
ü  Ada tempat bertanya
Kerja secara kelompok, maka ada tempat untuk bertanya dan ada orang lain yang dapat mengoreksi kesalahan anggota
kelompok.  Belajar  sendiri  sering  terbentur  pada  masalah  sulit  terutama  jika  mempelajari  sejarah.  Dalam  belajar
berkelompok, seringkali dapat memecahkan soal yang sebelumnya tidak bisa diselesaikan sendiri. Ide teman dapat
dicoba dalam menyelesaikan soal latihan. Jika ada lima orang dalam kelompok itu, tentu ada lima kepala yang
mempunyai tingkat pengetahuan dan kreativitas yang berbeda. Pada saat membahas suatu masalah bersama akan ada
ide yang saling melengkapi.
ü  Kesempatan melakukan resitasi oral
Kerja kekompok, sering anggota kelompok harus berdiskusi dan menjelaskan suatu teori kepada teman belajar. Inilah saat yang baik untuk resitasi. Akan dijelaskan suatu teori dengan bahasa sendiri. Belajar mengekspresikan apa yang diketahui, apa yang ada dalam pikiran ke dalam bentuk kata-kata yang diucapkan.
ü  Dapat membantu timbulnya asosiasi dengan perisitwa lain yang mudah diingat
Melalui kerja kelompok akan dapat membantu timbulnya asosiasi dengan peristiwa lain yang mudah diingat. Misalnya, jika
ketidaksepakatan terjadi di antara kelompok, maka perdebatan sengit tak terhindarkan. Setelah perdebatan ini, biasanya
akan mudah mengingat apa yang dibicarakan dibandingkan masalah lain yang lewat begitu saja. Karena dari peristiwa ini,
ada telinga yang mendengar, mulut yang berbicara, emosi yang turut campur dan tangan yang menulis. Semuanya sama-
sama mengingat di kepala. Jika membaca sendirian, hanya rekaman dari mata yang sampai ke otak, tentu ini dapat
kurang kuat.
Kelemahan penerapan model pembelajaran kooperatif dalam suatu pembelajaran di sekolah yaitu:
ü  Bisa menjadi tempat mengobrol atau gosip
Kelemahan yang senantiasa terjadi dalam belajar kelompok adalah dapat menjadi   tempat mengobrol. Hal ini terjadi jika anggota kelompok tidak mempunyai kedisiplinan dalam belajar, seperti datang terlambat, mengobrol atau bergosip membuat waktu berlalu begitu saja sehingga tujuan untuk belajar menjadi sia-sia.

ü  Sering terjadi debat sepele di dalam kelompok
Debat sepele ini sering terjadi di dalam kelompok. Debat sepele ini sering berkepanjangan sehingga membuang waktu percuma. Untuk itu, dalam belajar kelompok harus dibuatkan agenda acara. Misalnya, 25 menit   mendiskusikan bab tertentu, dan 10 menit mendiskusikan bab lainnya. Dengan agenda acara ini, maka belajar akan terarah dan tidak terpancing untuk berdebat hal-hal sepele.
c)      Pembelajaran Kontekstual ( Contextual Teaching Learning/ CTL)
Pembelajaran Kontekstual adalah konsep pembelajaran yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata peserta didik, dan juga mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Menurut Anisa (2009) ada beberapa kelebihan dalam pembelajaran CTL,
yaitu:
ü  Pembelajaran lebih bermakna, artinya siswa melakukan sendiri kegiatan yang berhubungan dengan materi yang ada sehingga siswa dapat memahaminya sendiri.
ü  Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena pembelajaran CTL menuntut siswa menemukan sendiri bukan menghafalkan.
ü  Menumuhkan keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat tentang materi yang dipelajari.
ü  Menumbuhkan rasa ingin tahu tentang materi yang dipelajari dengan bertanya kepada guru.
ü  Menumbuhkan kemampuan dalam bekerjasama dengan teman yang lain untuk memecahkan masalah yang ada.
ü  Siswa dapat membuat kesimpulan sendiri dari kegiatan pembelajaran.

Menurut Dzaki (2009) kelemahan dalam pembelajaran CTL yaitu :
ü  Bagi siswa yang tidak dapat mengikuti pebealajaran, tidak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang sama dengan teman lainnya karena siswa tidak mengalami sendiri.
ü  Perasaan khawatir pada anggota kelompok akan hilangnya
karakteristik siswa karena harus menyesuaikan dengan kelompolnya.
ü  Banyak siswa yang tidak senang apabila disuruh bekerjasama dengan yang lainnya, karena siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihan siswa yang lain dalam kelompoknya.
Dari penjelasan di atas maka seorang guru dalam menerapkan model
pembelajaran CTL harus dapat memperhatikan keadaan siswa dalam
kelas. Selain itu, seorang guru juga harus mampu membagi kelompok secara heterogen, agar siswa yang pandai dapat membantu siswa yang kurang pandai.
d)     Student Teams-Achievement Division (STAD)
STAD atau Tim Pebelajar-Kelompok Prestasi, merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang paling sederhana.Dalam STAD pebelajar dikelompokkan menjadi beberapa kelompok dengan anggota 4-5 orang, dan setiap kelompok haruslah heterogen. Pembelajar menyajikan pelajaran, dan kemudian pebelajar bekerja di dalam tim mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya seluruh peserta didik dikenai kuis tentang materi itu dengan catatan, saat kuis mereka tidak boleh saling membantu.Dalam STAD, penghargaan kelompok didasarkan atas skor yang didapatkan olehkelompok dan skor kelompok ini diperoleh dari peningkatan individu dalam setiap kuis. Sumbangan poin peningkatan peserta didik terhadap kelompoknya didasarkan atas ketentuan :
Skor Kuis
Poin peningkatan
> 10 point di bawah skor dasar
1-10 point di bawah skor dasar
Skor dasar - 10 poin di atas skor dasar
> 10 poin di atas skor dasar
Hasil sempurna (tidak mempertimbangkan skor dasar)
5
10
20
30
30




Skor kelompok untuk setiap kelompok didasarkan pada sumbangan poin peningkatan yang diperoleh oleh setiap anggota kelompok yaitu dengan menjumlah seluruh poin peningkatan anggota kelompok dibagi dengan jumlah anggota kelompok. Satu periode penilaian (3 – 4 minggu). Secara singkat langkah-langkah pembelajaran STAD terdiri atas:

ü  Membentuk kelompok heterogen a 4-5 orang anggotanya
ü  Guru menyajikan pelajaran
ü  Guru memberi tugas kelompok
ü  Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh peserta didik. Pada saat menjawab kuis, tidak dibolehkan peserta didik saling membantu.
ü  Memberi evaluasi
ü  Penghargaan kelompok
ü  Kesimpulan
Berdasarkan karakterisitiknya sebuah model pasti memiliki kelebihan dan kelemahannya. Uraiansecara rinci kelebihan model ini ialah:
ü  Setiap siswa memiliki kesempatan untuk memberikan kontribusi yang substansial kepada kelompoknya, dan posisi anggota kelompok adalah setara Allport (dalam Slavin, 2005:103).
ü  Menggalakkan interaksi secara aktif dan positif dan kerjasama anggota kelompok menjadi lebih baik (Slavin, 2005:105) dan (Ahmadi,  2011:65).
ü  Membantu siswa untuk memperoleh hubungan pertemanan lintas rasial yang lebih banyak (Slavin, 2005:105)
ü  Melatih siswa dalam mengembangkan aspek kecakapan sosial di samping kecakapan kognitif (Isjoni, 2010:72).
ü  Peran guru juga menjadi lebih aktif dan lebih terfokus sebagai fasilitator, mediator, motivator dan evaluator (Isjoni, 2010:62).
ü  Dalam model ini, siswa memiliki dua bentuk tanggung jawab belajar. Yaitu belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama anggota kelompok untuk belajar (Rusman, 2011: 203).
ü  Dalam model ini, siswa saling membelajarkan sesama siswa lainnya atau pembelajaran oleh rekan sebaya (peerteaching) yang lebih efektif daripada pembelajaran oleh guru (Rusman, 2011: 204)
ü  Pengelompokan siswa secara heterogen membuat kompetisi yang terjadi di kelas menjadi lebih hidup
ü  Prestasi dan hasil belajar yang baik bisa didapatkan oleh semua anggota kelompok.
ü  Kuis yang terdapat pada langkah pembelajaran membuat siswa lebih termotivasi.
ü  Kuis tersebut juga meningkatkan tanggung jawab individu karena nilai akhir kelompok dipengaruhi nilai kuis yang dikerjakan secara individu
ü  Adanya penghargaan dari guru, sehingga siswa lebih termotivasi untuk aktif dalam pembelajaran.
ü  Anggota kelompok dengan prestasi dan hasil belajar rendah memiliki tanggung jawab besar agar nilai yang didapatkan tidak rendah supaya nilai kelompok baik
ü  Rusman (2011) menambahkan keunggulan model ini yaitu, siswa memiliki dua bentuk tanggung jawab belajar. Yaitu belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama anggota kelompok untuk belajar (Rusman, 2011: 203)
ü  Siswa dapat saling membelajarkan sesama siswa lainnya atau pembelajaran oleh rekan sebaya (peerteaching) yang lebih efektif daripada pembelajaran oleh guru (Rusman, 2011: 204).Model ini dapat mengurangi sifat individualistis siswa.

             Belakangan ini, siswa cenderung berkompetisi secara individual, bersikap tertutup terhadap teman, kurang memberi perhatian ke teman sekelas, bergaul hanya dengan orang tertentu, ingin menang sendiri,dan sebagainya. Jika keadaan ini dibiarkan tidak mustahil akan dihasilkan warga negara yang egois, introfert (pendiam dan tertutup), kurang bergaul dalam masyarakat, acuh tak acuh dengan tetangga dan lingkungan, kurang menghargai orang lain, serta tidak maumenerima kelebihan dan kelemahan orang lain. Gejala seperti ini kiranya mulai terlihat pada masyarakat kita, sedikit-sedikit demonstrasi, main keroyokan, saling sikut dan mudah terprovokasi (Rusman, 2011: 204).
             Selain berbagai kelebihan, model STAD ini juga memiliki kelemahan. Semua model pembelajaran memang diciptakan untuk memberi manfaat yang baik atau positif pada pembelajaran, tidak terkecuali model STAD ini. Namun, terkadang pada sudut pandang tertentu, langkah-langkah model tersebut tidak menutup kemungkinan terbukanya sebuah kelemahan, seperti yang dipaparkan di bawah ini.
ü  Berdasarkan karakteristik STAD jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional (yang hanya penyajian materi dari guru), pembelajaran menggunakan model ini membutuhkan waktu yang relatif lama, dengan memperhatikan tiga langkah STAD yang menguras waktu seperti penyajian materi dari guru, kerja kelompok dan tes individual/kuis. Penggunaan waktu yang lebih lama dapat sedikit diminimalisir dengan menyediakan lembar kegiatan siswa (LKS) sehingga siswa dapat bekerja secara efektif dan efisien. Sedangkan pembentukan kelompok dan penataan ruang kelas sesuai kelompok yang ada dapat dilakukan sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan.
Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran tidak ada waktu yang terbuang untuk
pembentukan kelompok dan penataan ruang kelas.
ü  Model ini memerlukan kemampuan khusus dari guru. Guru dituntut sebagai fasilitator, mediator, motivator dan evaluator (Isjoni, 2010:62). Dengan asumsi tidak semua guru mampu menjadi fasilitator, mediator, motivator dan evaluator dengan baik. Solusi yang dapat di jalankan adalah meningkatkan mutu guru oleh pemerintah seperti mengadakan kegiatan-kegiatan akademik yang bersifat wajib dan tidak membebankan biaya kepada guru serta melakukan pengawasan rutin secara insindental. Disamping itu, guru sendiri perlu lebih aktif lagi dalam mengembangkan kemampuannya tentang pembelajaran.
e)      Jigsaw (Tim Ahli)
Dalam penerapan kooperatif tipe jigsaw, peserta didik dibagi berkelompok dengan lima atau enam anggota kelompok belajar heterogen. Setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari, menguasai bagian tertentu bahan yang diberikan kemudian menjelaskan pada anggota kelompoknya.Para anggota dari kelompok lain yang bertugas mendapat topik yang sama berkumpul dan berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut kelompok ahli. Kemudian anggota tim ahli kembali ke kelompok asal dan mengajarkan apa yang telah dipelajarinya dan didiskusikan didalam klompok ahlinya untuk diajarkan kepada teman kelompoknya sendiri.
Secara singkat, langkah-langkah pembelajaran Jigsaw terdiri atas :
ü  Peserta didik dikelompokkan menjadi beberapa kelompok heterogen  4-5 orang
ü  Tim anggota dalam kelompok/tim diberi bagian materi yang berbeda
ü  Anggota dari tim tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka
ü  Jika kelompok ahli selesai mendiskusikan tugasnya, maka anggota kelompok kembali ke kelompok asal/semula (home teams) untuk mengajar anggota lainnya pada kelompok semula tentang sub bab yang ia diskusikan.
ü  Tiap kelompok/tim ahli mempresentasikan hasil diskusi
ü  Guru memberi kesimpulan
v  Kelebihan metode jigsaw
Ibrahim dkk (2000) mengemukakan kelebihan dari metode jigsaw sebagai berikut.
ü  Dapat mengembangkan tingkah laku kooperatif
ü  Menjalin/mempererat hubungan yang lebih baik antar siswa Dapat mengembangkan kemampuan akademis siswa
ü  Siswa lebih banyak belajar dari teman mereka dalam belajar kooperatif dari pada guru
ü  Sementara itu Ratumanan (2002) menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam bentuk kooperatif dapat memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.
v  Kelemahan metode jigsaw
ü  Guru dan siswa kurang terbias dengan metode ini karena masih terbawa kebiasaan menggunakan metode konvensional, dimana pemberian materi terjadi secara satu arah.
ü  Memerlukan waktu yang relatif lama.
ü  Tidak efektif untuk siswa yang banyak
ü  Memerlukan perhatian dan pengawasan ekstra ketat dari guru Memerlukan persiapan yang matang
f)       Keliling Kelompok
Model Pembelajaran Round Club Atau Keliling Kelompok adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerjasama saling membantu mengkontruksi konsep.
Menyelesaikan persoalan atau inkuiri. Setiap anggota kelompok wajib mengungkapkn hasil pemikiran secara bergantian. Langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran sebagai berikut:
ü  Guru menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompotensi dasar
ü  Guru membagi peserta didik menjadi kelompok
ü  Guru memberikan tugas atau lembar kerja
ü  Salah satu peserta didik dalam masing-masing kelompok menilai dengan memberikan pandangan dan pemikiran mengenai tugas yang sedang mereka kerjakan
ü  Peserta didik berikutnya juga ikut memberikan kontribusinya
ü  Demikian seterusnya giliran bicara bisa dilaksanakan arah perputaran jarum jamk atau dari kiri ke kanan.
g)      Debat
Kegiatan yang menekankan pada keaktifan peserta didik untuk memberikan argumen atau mempertahankan argumennya ataupun kelompoknya. Melalui model ini peserta didik dituntut untuk dapat berfikir secara kritis dan saling bekerja sama dalam kelompok untuk mempertahankan pendapat kelompok.
Langkah-langkah :
ü  Guru membagi 2 kelompok peserta debat yang satu pro dan yang lainnya kontra
ü  Guru memberikan tugas untuk membaca materi yang akan didebatkan oleh    kedua kelompok di atas
ü  Setelah selesai membaca materi, Guru menunjuk salah satu anggota kelompok  pro untuk berbicara saat itu, kemudian ditanggapi oleh kelompok kontra. Demikian seterusnya sampai sebagian besar peserta didik bisa mengemukakan pendapatnya.
ü  Sementara peserta didik menyampaikan gagasannya, guru menulis inti/ide-ide   dari setiap pembicaraan sampai mendapatkan sejumlah ide yang diharapkan.
ü  Guru menambahkan konsep/ide yang belum terungkap
ü  Dari data-data yang diungkapkan tersebut, guru mengajak peserta didik membuat kesimpulan/ rangkuman yang mengacu pada topik yang ingin dicapai.
Beberapa kelebihan dari model pembelajaran debat diantaranya adalah:
ü  Memantapkan pemahaman konsep siswa terhadap materi pelajaran yang telah diberikan.
ü  Melatih siswa untuk bersikap kritis terhadap semua teori yang telah diberikan.
ü  Melatih siswa untuk berani mengemukakan pendapat.
ü  Selain  itu  juga  terdapat  kekurangan  dalam  model  pembelajaran  debat, diantaranya adalah:
ü  Ketika menyampaikan pendapat saling berebut.
ü  Terjadi debat kusir yang tak kunjung selesai bila guru tidak menengahi.
ü  Siswa yang pandai berargumen akan slalu aktif tapi yang kurang pandai berargumen hanya diam dan pasif.
ü  Menghabiskan banyak waktu untuk melakukan sesi debat antar kelompok.
ü  Perlunya tema yang mudah dipahami oleh siswa.
ü  Tema haruslah dapat diperdebatkan.
ü  Perataan siswa dalam kelompok terkadang tidak heterogen.
3.    OPINI
Pendekatan Kebutuhan Sosial lebih menekankan pada pemerataan  kesempatan atau kuantitatif dibandingkan dengan aspek kualitatif. Pendekatan kebutuhan sosial ini adalah pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan –tekanan untuk memasukkan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada pemenuhan keinginan-keinginan murid dan orangtuanya secara bebas. Dalam model kebutuhan sosial ini , tugas perencana pendidikan adalah  menganalisa kebutuhan pada masa yang akan datang dengan menganalisa : (a) pertumbuhan penduduk, (b) partisipasi dalam pendidikan, (c) arus murid, dan (d) keinginan masyarakat.

4.    KESIMPULAN
Menurut Bandura, sebagaimana dikutip oleh (Kard, S., 1997:14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modeling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu. Dalam proses pemodelan (modeling) terdapat 4 unsur, yaitu; (1) Fase Memperhatikan, (2) Fase Menyimpan, (3) Fase Memproduksi, dan (4) Fase Motivasi. Sedangkan Jenis-jenis peniruan meliputi; (1) Peniruan langsung, (2) Peniruan tak langsung, (3) Peniruan Gabungan, (4) Peniruan sesaat/seketika, dan (5) Peniruan berkelanjutan.





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar