TINJAUAN
KRONOLOGIS HISTORI PENDIDIKAN
(PENDIDIKAN
UMUM & VOKASI)
LANDASAN
FILOSOFI PENDIDIKAN KEJURUAN
DIMENSI
EKONOMI PENDIDIKAN KEJURUAN
A.
Pendidikan
Umum
1.
Pendahuluan
Pendidikan yang merupakan proses meniti hamparan kehidupan
yang panjang, menempati ruang dan waktu yang membentang sepanjang usia didik.
Pendidikan berusaha membuat anak menemukan diri, kemampuan, keterampilan,
kecerdasan, dan kepribadian secara optimal. Sebagaimana telah kita pahami bahwa
pengembangan manusia seutuhnya telah menjadi tujuan pendidikan nasional, dan
mungkin saja telah menjadi tujuan pendidikan nasional di berbagai negara.
Tetapi pada kenyataannya kita sering kurang jelas atau kesulitan menemukan
gambaran manusia seutuhnya, dan akan lebih sulit lagi ketika harus merumuskan
bagaimana mengembangkan manusia yang utuh, terintegrasi, selaras, serasi dan
seimbang dari berbagai aspek dan potensi yang dimiliki manusia. Menurut Manfur
(1999;62) secara garis besar sasaran Pendidikan Umum adalah semua manusia dalam
berbagai usia, keberadaan, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan dalam status
apapun. Yang dimaksud dengan semua manusia dalam berbagai usia adalah secara
keseluruhan manusia dari mulai anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua.
Tentunya kita sadar bahwa proses pendidikan yang ada di Indonesia adalah proses
pendidikan sepanjang hayat, mengandung arti bahwa setiap individu memiliki hak
yang sama untuk mendapatkan pendidikan selama dia hidup di dunia ini, akan
tetapi yang dimaksud dengan sasaran pendidikan yang mencakup semua manusia
dalam berbagai usia disini adalah tentang perilaku kehidupannya secara umum.
Bagaimana anak-anak hidup dalam kehidupannya sendiri yang dilandasi oleh nilai
moral, norma yang dia miliki pada waktu atau masa kanak-kanaknya.
Kehidupan manusia remaja yang tentunya memiliki kehidupan
tersendiri dalam dunianya yang senantiasa itu semua harus memiliki makna hidup
yang sesuai dengan nilai moral, norma masyarakat yang berlaku. Demikian halnya
usia dewasa dan orang tua dalam kehidupannya harus memiliki tatanan yang jelas
tentang dasar kehidupannya sebagai orang yang dituakan, yang harus memberikan
suri tauladan bagi anak-anaknya dan generasi lainnya. Secara nilai moral, norma
orang dewasa dan orang tua akan lebih mapan dalam hidup dan penghidupannya.
Keberadaan sebagai salah satu sasaran dari Pendidikan Umum diartikan sebagai
status sosial masyarakat yang dimiliki oleh orang-orang tertentu, bagaimana
nilai moral, norma yang nampak pada kehidupan manusia yang menjadi pegawai
negeri, pejabat pemerintah, guru, buruh tentara, polisi, petani, pedagang dan
lain sebagainya.
Perbedaan itu seolah-olah akan menjadi suatu tingkatan yang
menentukan terhadap perilaku kehidupan dari nilai moral, norma yang
dimilikinya. Tingkat pendidikan merupakan sasaran Pendidikan Umum karena ada
kesan bahwa dengan tingkat pendidikan rendah maka nilai moral, norma yang
dimiliki terkesan akan rendah juga, dan sebaliknya apabila tingkat
pendidikannya tinggi maka nilai moral, norma yang dimilikinya pun akan tinggi.
Hal ini mungkin ada benarnya juga dan mungkin ada salahnya juga karena masalah
pemahaman dan pelaksanaan nilai moral, norma dalam kehidupan manusia tidak
sepenuhnya ditentukan atau dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
Secara umum, pendidikan merupakan segala pengalaman belajar
yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Secara khusus,
pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan
pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang
berlangsung di dalam dan luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup
secara tepat di masa yang akan datang.
2.
Aspek
Histori
Yang dimaksud dengan
sejarah/historis adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau
kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan
informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik,
moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya (Pidarta, 2007: 109)
Yang dimaksud dengan landasan
historis pendidikan adalah sejarah pendidikan di masa lalu yang menjadi acuan
terhadap pengembangan pendidikan di masa kini.
3. Landasan Histori Pendidikan
Landasan historis pendidikan Nasional Indonesia tidak
terlepas dari sejarah bangsa indonesia itu sendiri. Bangsa Indonesia terbentuk
melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang sejak zaman kerajaan Kutai,
Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya bangsa lain yang menjajah serta menguasai
bangsa Indonesia. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dalam perjalanan
hidupnya berjuang untuk menemukan jati dirinya sebagai suatu bangsa yang
merdeka, mandiri serta memiliki suatu
prinsip yang tersimpul dalam
pandangan hidup serta filsafat
hidup bangsa. Pada akhirnya bangsa Indonesia menemukan jati dirinya, yang di
dalamnya tersimpul ciri khas, sifat dan karakter bangsa yang berbeda dengan
bangsa lain. Para pendiri negara kita merumuskan negara kita dalam suatu
rumusan yang sederhana namun mendalam, yang meliputi 5 prinsip (lima sila) yang
kemudian diberi nama Pancasila.
Jadi, secara historis nilai-nilai yang terkandung dalam
setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara
Indonesia secara objektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia
sendiri. Sehingga asal nilai-nilai Pancasila tersebut tidak lain adalah dari
bangsa Indonesia sendiri. Konsekuensinya, Pancasila berkedudukan sebagai dasar
filsafat negara serta ideology bangsa dan negara, bukan sebagai suatu ideology
yang menguasai bangsa, namun justru nilai-nilai dari sila-sila Pancasila itu
melekat dan berasal dari bangsa Indonesia itu sendiri
Dengan kata lain, tinjauan landasan sejarah atau historis
Pendidikan Nasional Indonesia merupakan pandangan ke masa lalu atau pandangan
retrospektif. Pandangan ini melahirkan studi-studi historis tentang proses
perjalanan pendidikan nasional Indonesia yang terjadi pada periode tertentu di
masa yang lampau.
Dengan demikian, setiap bidang kegiatan yang ingin dicapai
manusia untuk maju, pada umumnya dikaitkan dengan bagaimana keadaan bidang
tersebut pada masa yang lampau (Pidarta, 2007: 110). Demikian juga halnya
dengan bidang pendidikan. Sejarah pendidikan merupakan bahan pembanding untuk
memajukan pendidikan suatu bangsa. Sejarah telah memberi penerangan, contoh,
dan teladan bagi manusia dan diharapkan akan dapat meningkatkan peradaban
manusia itu sendiri di masa kini dan masa yang akan datang.:
a. Sejarah
pendidikan dunia
Sejarah pendidikan dunia yang memberikan pengaruh pada
pendidikan zaman sekarang meliputi zaman-zaman: (1) Realisme, (2) Rasionalisme,
(3) Naturalisme, (4) Developmentalisme, (5) Nasionalisme, (6) Liberalisme,
Positivisme, dan Individualisme, serta (7) Sosialisme.
1.
Zaman Realisme
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang didukung
oleh penemuan-penemuan ilmiah baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia
dan bersumber dari keadaan dunia pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan
sebelumya yang banyak berkiblat pada dunia ide, dunia surga dan akhirat.
Realisme menghendaki pikiran yang praktis). Menurut aliran ini, pengetahuan
yang benar diperoleh tidak hanya melalui penginderaan semata tetapi juga
melalui persepsi penginderaan (Mudyahardjo, 2008: 117). Tokoh-tokoh pendidikan
zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius.
2.
Zaman Rasionalisme
Tokoh pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John
Locke Aliran ini memberikan kekuasaan pada manusia untuk berfikir sendiri dan
bertindak untuk dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya
sendiri dan bertindak untuk dirinya. Paham ini muncul karena masyarakat dengan
kekuatan akalnya dapat menumbangkan kekuasaan Raja Perancis yang memiliki
kekuasaan absolut. Teorinya yang terkenal adalah leon Tabularasa, yaitu
mendidik seperti menulis di atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan
akal yang dimilikinya manusia digunakan untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
Teori yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal yang
negatif, seperti intelektualisme, individualisme, dan materialism.
3.
Zaman Naruralisme
Pada abad ke-18 muncullah aliran Naturalisme Sebagai reaksi
terhadap aliran Rasionalisme dengan tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini
menentang kehidupan yang tidak wajar sebagai kibat dari Rasionalisme, seperti
gaya hidup yang diperhalus, cara hidup yang dibuat-buat sampai pada korupsi,
anak-anak dipandang sebagai manusia dewasa yang kecil. Naturalisme menginginkan
keseimbangan antara kekuatan rasio dengan hati (Pidarta, 2007: 115).
4. Zaman
Developmentalisme
Zaman Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran
ini memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran
ini sering disebut gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini
adalah: Pestalozzi, Johan Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel, dan
Stanley Hall.
5.
Zaman Nasionalisme
Zaman nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya
membentuk patriot-patriot bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum
imperialis. Tokoh-tokohnya adalah La Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan
Jefferson (Amerika Serikat).
6.
Zaman Liberalisme, Positivisme dan
Individualisme
Zaman ini lahir pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat
bahwa pendidikan adalah alat untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan
yang dipelopori dalam bidang ekonomi oleh Adam Smith dan siapa yang banyak
berpengetahuan dialah yang berkuasa yang kemudian mengarah pada individualisme.
Sedangkan positivisme percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indera sehingga
kepercayaan terhadap agama semakin melemah. Tokoh aliran positivisme adalah
August Comte .
7.
Zaman Sosialisme
Aliran sosial dalam pendidikan muncul pada abad ke-20
sebagai reaksi terhadap dampak liberalisme, positivisme, dan individualisme.
Tokoh-tokohnya adalah Paul Nartorp, George Kerchensteiner (jerman), dan John
Dewey (Amerik Serikat). Menurut aliran ini, masyarakat memiliki arti yang lebih
penting daripada individu. Nartorp
mengatakan individu itu ibarat atom-atom yang tidak memiliki arti bila tidak
berwujud benda.
b. Sejarah
Pendidikan Indonesia:
1. Zaman
Pengaruh Hindu dan Budha (Purba)
Hinduisme and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad
ke-5. Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama yang berbeda, namun di
Indonesia keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan
mempersatukan figur Syiwa dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi.
Motto pada lambang Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika, secara
etimologis berasal dari keyakinan tersebut (Mudyahardjo, 2008: 215).
2. Zaman
Pengaruh Islam (Tradisional)
Agama islam yang dibawa oleh pedagang dari Persia dan
Gujarat ke Indonesia. Agama Islam mudah tersebar karena agama Islam dapat
bersatu dengan kebudayaan Indonesia. Keduanya dapat saling membantu dan saling
mempengaruhi. Agama Islam besar sekali pengaruhnya di dalam mendidik rakyat
jelata. Berbeda dengan Agama Hindu dan Budha, Agama Islam menyiarkan Agamanya
mulai dari bawah/dari rakyat biasa. Para Ulama sangat dekat dengan rakyat
biasa, mereka bisa hidup bersama dengan rakyat biasa. Bentuk pendidikan yang
Islam ada 3 macam, yaitu di Langgar, Pesantren, dan Madrasah.
3. Zaman
Pengaruh Nasrani (Katholik dan Kristen)
Bangsa Portugis pada abad ke-16 bercita-cita menguasai
perdagangan dan perniagaan Timur-Barat dengan cara menemukan jalan laut menuju
dunia Timur serta menguasai bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang
menjadi mata rantai perdagaan dan perniagaan (Mudyahardjo, 2008: 242).
Di samping mencari kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold),
bangsa Portugis datang ke Timur (termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan
agama yang mereka anut, yakni Katholik (gospel). Pada akhirnya pedagang
Portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu dihasilkan.
Namun kekuasaan Portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja di
Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605 (Nasution,
2008: 4). Dalam setiap operasi perdagangan, mereka menyertakan para paderi
misionaris Paderi yang terkenal di Maluku, sebagai salah satu pijakan Portugis
dalam menjalankan misinya, adalah Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.
Sedangkan pengaruh Kristen berasal dari orang-orang Belanda
yang datang pertama kali tahun1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan
tujuan untuk mencari rempah-rempah. Untuk menghindari persaingan di antara
mereka, pemerintah Belanda mendirikan suatu kongsi dagang yang disebut VOC
(vreenigds Oost Indische Compagnie) atau Persekutuan Dagang Hindia Belanda
tahun 1602 (Mudyahardjo, 2008: 245).
Sikap VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan
terselenggaranya Pendidikan Tradisional di Nusantara, mendukung
diselenggarakannya sekolah-sekolah yang bertujuan menyebarkan agama Kristen.
Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur
Indonesia di mana Katholik telah berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat
administrasi kolonial. Tujuannya untuk melenyapkan agama Katholik dengan
menyebarkan agama Kristen Protestan, Calvinisme (Nasution, 2008: 4-5).
4. Zaman
Kolonial Belanda
Tujuan bangsa Belanda ke Indonesia juga sama dengan bangsa
Spanyol dan Portugis. Belanda mendirikan sekolah-sekolah yang tidak hanya
mengjarkan agama saja, tetapi juga mengajarkan pengetahuan umum.
Sekolah-sekolah banyak didirikan di Pulau Ambon, Ternate, dan Bacan (Maluku).
Sekolah-sekolah ini tidak hanya mengajarkan khusus agama saja, tetapi juga
mengejarkan pengetahuan umum. Bahasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa
Melayu dan Belanda. Selain itu mereka juga mendirikan sekolah untuk calon
pegawai VOC. Sekolah ini didirikan di Ambon dan Jakarta (rizal, 2008).
Meskipun sekolah-sekolah telah banyak berdiri, tetapi secara
vormal, sekolah-sekolah itu tidak didirikan atas nama VOC, tetapi didirikan
oleh orang-orang dari kalangan agama, yaitu agama Kristen Protestan. Oleh
karena itu, kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal dengan masuknya
ide-ide liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual,
nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan
untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19.
5. Zaman
Kolonial Jepang
Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Jepang
tetap berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang
menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang
menyerah dan terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka (Rohmawati, 2008).
Meskipun demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan
Jepang di Indonesia. Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme
pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang
sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas
diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di
kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa
Indonesia untuk merealisasi Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945
cita-cita bangsa Indonesia menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan kepada dunia (rohmawati, 2008).
Sekolah-sekolah yang ada pada jaman Belanda semenjak Jepang
datang ke Indonesia diganti dengan sistem Jepang. Murid hanya mendapat
pengetahuan sedikit, dan hampir sepanjang hari hanya diisi dengan kegiatan
latihan perang atau bekerja. Sistem sekolah di masa Jepang banyak berbeda
dengan penjajahan Belanda
6. Zaman
Kemerdekaan (Awal)
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak
berhenti sampai di sini karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang ingin
kembali menguasai Indonesia datang silih berganti sehingga bidang pendidikan
pada saat itu bukanlah prioritas utama karena konsentrasi bangsa Indonesia
adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan perjuangan
yang amat berat.
Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang
yang mengatur pendidikan. Sistem persekolahan di Indonesia yang telah
dipersatukan oleh penjajah Jepang terus disempurnakan. Namun dalam
pelaksanaannya belum tercapai sesuai dengan yang diharapkan bahkan banyak
pendidikan di daerah-daerah tidak dapat dilaksanakan karena faktor keamanan
para pelajarnya. Di samping itu, banyak pelajar yang ikut serta berjuang
mempertahankan kemerdekaan sehingga tidak dapat bersekolah.
7. Zaman
‘Orde Lama’
Setelah gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk
mengisi kemerdekaan mulai digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di berbagai
bidang, baik spiritual maupun material (Rohmawati: 2008).
Setelah diadakan konsolidasi yang intensif, sistem
pendidikan Indonesia terdiri atas: Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan
Pendidikan Tinggi. Dan pendidikan harus membimbing para siswanya agar menjadi
warga negara yang bertanggung jawab. Sesuai dengan dasar keadilan sosial,
sekolah harus terbuka untuk tiap-tiap penduduk negara (Rahmawati; 2008).
Di samping itu, Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah
pendidikan yang dapat membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat
menyelesaikan revolusinya baik di dalam maupun di luar; pendidikan yang secara
spiritual membina bangsa yang ber-Pancasila dan melaksanakan UUD 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia, dan
merealisasikan ketiga kerangka tujuan Revolusi Indonesia sesuai dengan Manipol
yaitu membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berwilayah dari Sabang
sampai Merauke, menyelenggarakan masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan
makmur lahir-batin, melenyapkan kolonialisme, mengusahakan dunia baru, tanpa
penjajahan, penindasan dan penghisapan, ke arah perdamaian, persahabatan
nasional yang sejati dan abadi (Mudyahardjo, 2008: 403).
8. Zaman
‘Orde Baru’
Orde Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965
dan ditandai oleh upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Haluan penyelenggaraan pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh Orde Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata
pelajaran dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Di samping itu, dikembangkan kebijakan link and match di
bidang pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini dijadikan strategi
operasional dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar
(Pidarta, 2008: 137-38). Inovasi-inovasi pendidikan juga dilakukan untuk
mencapai sasaran pendidikan yang diinginkan. Sistem pendidikannya adalah
sentralisasi dengan berpusat pada pemerintah pusat.
Namun demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih
memiliki beberapa kesenjangan. Buchori (Dalam Pidarta 2008: 139-140)
mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu (1) kesenjangan okupasional (antara
pendidikan dan dunia kerja), (2) kesenjangan akademik (pengetahuan yang
diperoleh di sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari), (3)
kesenjangan kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan
klasik dan humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi),
dan (4) kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang dimiliki dengan
wawasan dunia terkini).
Namun demikian keberhasilan pembangunan yang menonjol pada
zaman ini adalah (1) kesadaran beragama dan kenagsaan meningkat dengan pesat,
(2) persatuan dan kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi
Indonesia juga meningkat (Pidarta, 2008: 141).
9. Zaman
‘Reformasi’
Selama Orde Baru berlangsung, rezim yang berkuasa sangat
leluasa melakukan hal-hal yang mereka inginkan tanpa ada yang berani melakukan
pertentangan dan perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat
kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai terbesar saat itu. Hampir tidak
ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk
berbicara dan menyaampaikan pendapatnya (ibid.: 143).
Begitu Orde Baru jatuh pada tahun 1998 masyarakat merasa
bebas bagaikan burung yang baru lepas dari sangkarnya yang telah membelenggunya
selama bertahun-tahun. Masa Reformasi ini pada awalnya lebih banyak bersifat
mengejar kebebasan tanpa program yang jelas.
Sementara itu, ekonomi Indonesia
semakin terpuruk, pengangguran bertambah banyak, demikian juga halnya dengan
penduduk miskin. Korupsi semakin hebat dan semakin sulit diberantas. Namun
demikian, dalam bidang pendidikan ada perubahan-perubahan dengan munculnya
Undang-Undang Pendidikan yang baru dan mengubah sistem pendidikan sentralisasi
menjadi desentralisasi, di samping itu kesejahteraan tenaga kependidikan
perlahan-lahan meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional
mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga
diupayakan, misalnya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), MBS (Manajemen
Berbasis Sekolah), Life Skills (Lima Ketrampilan Hidup), TQM (Total Quality
Management) KTSP (Kurikulum Satuan Pendidikan).
c.
Landasan Filosofi Pendidikan Umum
Endang Saifuddin (1987:96)
berpendapat bahwa terdapat banyak aliran-aliran penting dalam etika, minimal
ada enam aliran:
1. Aliran Etika Naturalisme ialah
aliran yang beranggapan bahwa kebahagian manusia itu didapatkan dengan
menurutkan panggilan natura (fitrah) kejadian manusia itu sendiri.
2. Aliran Etika Hedonisme ialah aliran
yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan
hedone (kenikmatan dan kelezatan).
3. Aliran Etika Utilitarianisme ialah
aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ditinjau dari kecil
dan besarnya manfaat bagi manusia (utility: manfaat).
4. Aliran Etika idealisme ialah aliran
yang berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab-musabab
lahir, tetapi haruslah berdasarkan pada prinsip kerohanian (idea) yang lebih
tinggi.
5. Aliran Etika Vitalisme ialah yang
menilai baik buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada tidak adanya
daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.
6. Aliran Etika Theologis ialah aliran
yang berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai
dengan sesuai dan tidak sesuainya dengan perintah Tuhan (Theos = Tuhan).
Berdasarkan
uraian tersebut diatas dari ke enam aliran tentang etika yang paling mendasari
dalam kehidupan manusia di dunia ini adalah etika Theologis, karena manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan harus yakin bahwa kehidupan di dunia ini
merupakan kehidupan sementara dan akan mengalami suatu kehidupan yang kekal dan
abadi di akhirat kelak. Apabila melihat jumlah penduduk Indonesia adalah suatu
bangsa yang menganut Agama Islam sebanyak 90% lebih, ini memberikan suatu
jaminan bahwa pola hidup bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang Islami
dengan tata nilai-moral-norma yang Islami pula.
Kenyataan
dalam kehidupan bangsa Indonesia sekarang sangat jauh dari kehidupan yang
Islami ini, dan ini adalah suatu tugas Pendidikan Umum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan Umum (pendidikan nilai)
sangat diperlukan sekali dengan kondisi kehidupan bangsa seperti ini. Ada satu
hal yang perlu dikaji disini menurut Shri Krishna Saksena mantan ketua
departemen of philosophy di Hindu College, Delhi, mengawali tulisan beliau
berjudul ”Kedudukan filsafat desawa ini” (E. Saefuddin, 1987:107) dikatakan
bahwa: Pengetahuan filsafat tidak menghasilkan keyakinan oleh karena alat
filsafat untuk tugas tersebut tidak mencukupi. Satu-satunya alat yang
dipergunakan oleh filsafat ialah akal. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah
yang diberikan kelebihan dari makhluk lainnya yaitu akal, akan tetapi akal
dalam kontek penggunaannya oleh manusia ada yang bersifat positif dan negatif,
disinilah letak peranan Pendidikan Umum dalam membina manusia dalam hidup dan
penghidupannya.
Landasan
Sosial Kultural Pendidikan Umum dalam kehidupan sosial budaya saat ini manusia
sudah mengarah kepada kehidupan yang individualistis, yang tidak lagi bisa
menghargai/menghormati orang lain, sekalipun itu adalah tetangganya sendiri
atau saudaranya sendiri. Seolah-olah mereka tidak saling kenal, ini merupakan
suatu gejala kehidupan yang mencolok dalam kehidupan kota, dan didesa pun sudah
mulai nampak erat hubungannya dengan gejala urbanisasi – ialah bahwa cara
bekerja, cara tradisional untuk memperoleh nafkah hidup berubah secara
individualistis. Perubahan-perubahan dalam lingkungan hidup dan kerja itu
disertai dengan perubahan dalam nilai-nilai budaya, moral, dan agama.
Perubahan-peruabahan itu nampak juga dalam perilaku/sikap orangnya, misalnya
bahwa penggunaan tatakrama dalam pergaulan sudah tidak dipakai lagi, anak-anak
sudah banyak yang tidak menghargai lagi orang tuanya, berpindah-pindah agama,
dan lain sebagainya. Franz Magnis (1986 : 22) mengatakan apa yang menyebabkan
perubahan-perubahan sosial itu? satu jawaban yang sering dikemukakan ialah
bahwa semua itu disebabkan oleh suatu kemerosotan akhlak manusia. Jawaban ini
pincang karena dua alasan: Pertama, belum pasti bahwa semua perubahan-perubahan
itu harus diartikan sebagai kemerosotan, salah satu gejala positif misalnya
adalah kesadaran yang semakin umum tentang martabat manusia (orang menonak
hukum mati) dan hak-hak asasinya. Kedua, kalau memang ada kemerosotan moral,
maka kemerosotan moral adalah akibat dan bukan sebab dari perubahan-perubahan
sosial itu. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor-faktor pokok yang menyebabkan
perubahan-perubahan sosial itu satu sama lain berkaitan erat, saling mendukung
dan menunjang, seperti : pertambahan jumlah penduduk, pengaruh teknologi modern
dan kekuatan. Kekuatan ekonomi internasional, lalu lintas komunikasi internasioan
yang menghubungkan kita dalam waktu sekejap dengan semua daerah lain didunia,
seluruh sistem pendidikan, dan lain sebagainnya. Berdasarkan uraian tersebut
diatas, Pendidikan Umum sangat perlu sekali disampaikan terhadap peserta didik,
baik sebagai anggota keluarga, masyarakat, bangsa, dan warga negara yang baik
ataupun dalam tingkat pendidikan dari mulai TK sampai dengan perguruan tinggi.
B.
Azas
Pendidikan Umum
Menurut Ki Hadjar Dewantara ada lima
asas dalam pendidikan yaitu :
1. Asas kemerdekaan; Memberikan
kemerdekaan kepada anak didik, tetapi bukan kebebasan yang leluasa, terbuka,
melainkan kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan
individu maupun sebagai anggota masyarakat.
2. Asas kodrat alam; Pada dasarnya
manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan kodrat alam, tidak dapat
lepas dari aturan main, tiap orang diberi keleluasaan, dibiarkan, dibimbing
untuk berkembang secara wajar menurut kodratnya.
3. Asas kebudayaan; Berakar dari
kebudayaan bangsa, namun mengikuti kebudyaan luar yang telah maju sesuai dengan
jaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi
acauan utama (jati diri).
4. Asas kebangsaan; Membina kesatuan
kebangsaan, perasaan satu dalam suka dan duka, perjuangan bangsa, dengan tetap
menghargai bangsa lain, menciptakan keserasian dengan bangsa lain.
5. Asas kemanusiaan; Mendidik anak
menjadi manusia yang manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan.
Berdasarkan
uraian tersebut tersebut bahwa lima asas pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara
harus menjadi asas-asas Pendidikan Umum, karena pada dasarnya memperlakukan
manusia yang manusiawi terkandung dalam kelima asas tersebut. Bagaimana kita
menghargai individu dalam hubungannya dengan asas kemerdekaan, bagaimana kita
memperlakukan alam dalam konteks kebutuhan hidup manusia, bagaimana peran
kebudayaan terhadap manusianya sebagai warna kultur yang membentuk pribadi dan
watak suatu masyarakat atau bangsa, bagaimana konsep kebersamaan kebangsaan dan
perjuangan bangsa menimbulkan suatu sikap saling memiliki, dan bagaimana asas
kemanusiaan sebagai bentuk pengakuan bahwa tidak ada perbedaan pada
tingkat/tatanan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tidak mengenal pangkat,
kedudukan, status sosial ekonomi dan sebagainya, dan yang membedakan adalah
hanya keimanan dan ketaqwaan di hadapan Tuhan.
C.
Pendidikan Vokasi
1.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan upaya
merekonstruksi suatu peradaban yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan
kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang
memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras
dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupan menjadi lebih baik dari
setiap masa ke masa berikutnya.
Dalam Undang- undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20
Tahun 2003 Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Banyak factor yang mempengaruhi pengembangan pendidikan di negara kita, tidak satupun pengembangan itu merupakan
peninggalan dari penduduk amerika pertama. Meskipun mereka memiliki latar
belakang yang berbeda, penduduk amerika pertama ini terbagi menjadi 2 kelompok.
Pertama yaitu kelompok yang menganggap kepentingan individu diatas kepentingan
kelompok. Kepercayaan”bahwa pemerintah adalah yang terbaik yang mempunyai
perananan sedikit” telah membuat karakter pemerintah amerika. Hal yang sama yaitu peran pemerintah terhadap
pendidikan. Dalam beberapa tahun tanggung jawab terhadap pendidikan telah diserahkan
pada komunitas lokal, Negara bagian, dan pihak-pihak swasta untuk menyediakan
penddikan bagi masyarakat. Bahkan kemudan diabad 20 komunitas lokal terus
bekerja keras untuk menjaga kontrol mereka terhadap sekolah. Kelompok kedua
yaitu kelompok yang menganggap bahwa para individu-individu seharusnya memiliki
kebebasan untuk mengatur sendiri jalan hidup mereka. Pandangan ini membetuk
dasar-dasar system perusahaan swasta dimana keuntungan merupakan motivasi utamannya.
Pendidikan vokasi merupakan jenjang pendidikan yang
selalu dinamis dalam melakukan perubahan kurikulum pendidikan sesuai dengan
pertumbuhan pasar kerja dan beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hal ini berarti pendidikan vokasi akan selalu mengalami
pergeseran paradigma. Menurut Pavlova (2009) dengan pertimbangan bahwa
aktivitas ekonomi sangat ditentukan adanya perubahan teknologi yang cepat pada
masa mendatang, maka orientasi pendidikan vokasi d iarahkan menjadi pendidikan bekerja
(work education) atau pendidikan teknologi (technology education)
Secara tradisional, menurut Pavlova (2009) pendidikan vokasi
merupakan pendidikan dengan tujuan utama mempersiapkan untuk bekerja dengan menggunakan
pen dekatan pendidikan berbasis kompetensi. Selan jutnya, menurut Pavlova
(2009) pendidikan bekerja merupakan program pendidikan dengan tiga komponen
yang saling terkait, yaitu: pembelajaran untuk bekerja (learning for work), pembelajaran tentang bekerja(learning
about work), dan pemahaman sifat dasar bekerja (understanding the nature of
work)
2. Sejarah
Pendidikan Vokasi
Pendidikan vokasi pada awal
sejarahnya berkembang di berbagai negara. Sebagai contoh, pengembangan
pendidikan vokasi sudah dimulai pada Mesir Kuno sekitar 2000 tahun sebelum
masehi. Program-program magang yang terorganisir (apprenticeship) mencakup
belajar kemampuan dasar menulis dan membaca karya sastra. Hal tersebut sebagai
usaha awal penggabungan antara belajar di kelas untuk kemampuan-kemampuan
dasar dan belajar langsung di tempat kerja. Cara ini sempat menyebar ke
berbagai bagian dunia lain sampai sekitar abad ke-19 (Ana: 2009).
Sedangkan di Cina, perkembangan pendidikan vokasi di
mulai pada Masa Konfusianisme, akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Tujuan
pendidikan pada masa itu adalah untuk
menciptakan sebuah tatanan sosial yang ideal dimana orang bisa hidup dalam
harmoni, rasa hormat dan ketulusan (konfusianisme). Pendidikan Vokasi diajarkan
oleh orang tua masyarakat kelas bawah. Filsafat Pendidikan Vokasi diperkenalkan
oleh Mo Tzu (476– 390 SM). Ia berpendapat
bahwa pendidikan vokasi jangan hanya fokus pada keahlian melainkan juga
pada ilmu pengetahuan, moral, dan bagaimana menciptakan makna (Schmidtke,C.,
& Chen,P. :2012).
Di Indonesia, awal perkembangan
pendidikan vokasi bermula ketika zaman pejajahan Belanda. Sistem Tanam Paksa
(Cultuurstelsel ) tahun 1830 dan Sistem Liberal tahun 1870 yang dilaksanakan
Pemerintah Belanda di tanah jajahannya,
Hindia Belanda, merupakan politik pengerukan keuntungan yang luar biasa. Dan dari sinilah muncul Politik Etika
yang dicanangkan Ratu Belanda dalam sidang parlemen Belanda tahun 1901. Sejak
pencangan Politik Etika inilah,
pemerintah Balanda berusaha mengembangkan ekonomi agar memiliki anggaran
sendiri dan akhirnya dari pendidikanlah unsur yang perlu dibenahi dan dibangun.
Pendidkan vokasi adalah salah satu di dalamnya, dimana dari sekolah vokasi akan
diperoleh lulusan dengan keahlian teknik. Pada permulaannya, pendidikan vokasi
yang pertama kali adalah Sekolah Pertukangan, sekolah yang merupakan sarana
yang digunakan untuk memajukan pertukangan di Indonesia (Supriadi: 2002).
3.
Perkembangan Pendidikan Vokasi di
Indonesia
Perkembangan pendidikan vokasi di
Indonesia dibagi menjadi 2 periode, yaitu: Pra Kemerdekaan dan Pasca
Kemerdekaan. Pada periode Pra Kemerdekaan, pendidikan vokasi di Indonesia
berawal dari pemikiran Ratu Belanda yaitu Politik Etika ( Etische
Politiek ) merupakan bentuk pertanggungjawaban politik Pemerintah Belanda
terhadap Hindia Belanda (Indonesia) atas diberlakukannya Sistem Tanam Paksa
(Cultuurstelsel ) tahun 1830 dan Sistem Liberal tahun 1870 yang
dilaksanakan Pemerintah Belanda.
Pendidikan kejuruan yang pertama kali adalah Sekolah
Pertukangan, sekolah yang merupakan sarana yang digunakan untuk memajukan
pertukangan di Indonesia, kemudian berkembang lagi Pendidikan Kejuruan
Pertanian yaitu sekolah yang berkonsentrasi pada kursus untuk pendidikan
pertanian praktis. Kemudian dibangun
Pendidikan Kejuruan Teknik, dimana banyak sekali keahlian yang
dikembangkan seperti keahlian bangunan, keahlian pertambangan, pendidikan
masinis, dan lain-lain. Inilah sejarah singkat mengapa ada pendidkan kejuruan
dan bagaimana prosesnya, walaupun bagaimana juga pendidikan yang awalnya oleh
pemerintah Belanda hanya untuk kebangsaan Eropa dan China, tetapi akhirnya
mereka mengembangkan untuk masyarakat Pribumi (Supriadi: 2002).
Seperti yang dijelaskan Supriadi
(2002) dalam bukunya Sejarah Pendidikan Teknik dan Vokasi di Indonesia, pada
periode Pasca Kemerdekaan,
Pendidikan vokasi dibagi menjadi
tiga babak yaitu: Pertama, tahun 1945-1968 yaitu sejak diproklamasikan
kemerdekaan Indonesia sampai sebelum pelaksanaan Pelita I. Pada periode ini
mulai dilakukannya pendekatan ke masyarakat akan pentingnya pendidikan (social demand
approach). Pendidikan vokasi dianggap mampu menghasilkan tamatan yang dapat
langsung bekerja namun keadaan sekolah kejuruan memprihatinkan dengan fasilitas
yang sangat minim. Pendidikan vokasi yang dikenal pada saat itu adalah STM dan
SMEA.
Kedua, pelaksanaan Pelita tahun
1969/1970 hingga akhir Pelita VI tahun 1997/1998. Pada masa ini dilakukan
pendekatan kebutuhan tenaga kerja (manpower demand approach) secara terbatas,
proses mencari bentuk yang tepat untuk pendidikan teknisi industri. Saat itu,
pertumbuhan ekonomi di Indonesia sedang baik dengan tingkat pertumbuhan 7% per
tahun, sehingga diperlukan banyak tenaga
kerja untuk mengisi kekosongan di dunia kerja. Akan tetapi pendidikan kejuruan hanya mampu mengisi 50%
saja kebutuhan. Dan keterlibatan dunia industri di pendidikan kejuruan belum
melembaga secara formal. Pendidikan vokasi pada masa itu terdiri dari vokaasi
bidang industri (STMP, SMEA Pembina, SMTK 4 tahun), dan juru teknik (STM-BLPT,
SMEA,SMKK). Digunakan pula pendekatan kebutuhan masyarakat (untuk sekolah yang
belum direhabilitasi): SMEA, SMKK,SMPS, SMM, SMIK, dan SMSR. Pada Pelita VI
diperkenalkan kebijakan baru untuk pembangunan pendidikan, yang disebut “Link
and Match”. Dalam pelaksanaannya diberlakukan Pendidikan Sistem Ganda di SMK.
Ketiga, periode reformasi tahun 1998
yang berlanjut dengan dilaksanakannya otonomi daerah sejak tahun 2001 hingga
sekarang. Pada periode ini momentum pertumbuhan kuantitatif pendidikan kejuruan
semakin meningkat. Hubungan dengan pihak industri semakin baik. Pemerintah
sudah sangat menyadari pentingnya mengembangkan pendidikan teknologi dan
kejuruan di Indonesia. Kita semua mengetahui bahwa Indonesia memiliki potensi
yang sangat besar untuk tumbuh dan
berkembang menjadi bangsa yang sejahtera. Di samping sumberdaya alam yang kaya,
Indonesia memiliki tenaga kerja dalam jumlah yang berlimpah. Agar potensi tersebut dapat
menjadi sumber daya pembaruan, yang diperlukan pendidikan yang bermutu dan
relevan. Begitu pula dengan Diklat Kejuruan dituntut untuk mampu meningkatkan
kompetensi generasi muda Indonesia yang akan memasuki dunia kerja, melatih
ulang dan meningkatkan kompetensi mereka yang sudah bekerja, selaras dengan
perkembangan teknologi dan perubahan pasar kerja.
D.
Landasan Filosofi Pendidikan Kejuruan
Dalam pendidikan kejuruan ada dua
aliran filsafat yang sesuai dengan keberadaanya, yaitu eksistensialisme dan
esensialisme. Eksistensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus
mengembangkan eksistensi manusia untuk bertahan hidup, bukan merampasnya.
Sedangkan esensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengaitkan
dirinya dengan sistem-sistem yang lain seperti ekonomi, politik, sosial,
ketenaga kerjaan serta religi dan moral.
Landasan filosofis yang mendasari pendidikan kejuruan, harus mampu
menjawab dua pertanyaan : pertama, Apa yang harus diajarkan? dan kedua,
Bagaimana harus mengajarkan? (Calhoun dan Finch, 1982). Chalhoun dan Finch
menegaskan bahwa sumber prinsip-prinsip fundamental pendidikan kejuruan adalah individu dan perannya dalam suatu
masyarakat demokratik, serta peran pendidikan dalam transmisi standar sosial.
Secara umum juga dikatakan bahwa filsafat
pendidikan merupakan rohani atau spiritual sistem pendidikan nasional.
Pendidikan kejuruan yang berkembang telah banyak ditandai dengan pesatnya
perkembangan fasilitas fisik untuk melayani kebutuhan banyak orang dalam
lingkup pendidikan kejuruan yang makin luas.
Filosofi
memandang pendidikan kejuruan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas
penyiapan orang untuk bekerja atau mandiri, maka menuntut adanya jenis
pendidikan yang dapat menyediakan berbagai alternatif pilihan itu, dan untuk
hal tersebut yang paling tepat adalah pendidikan kejuruan itu sendiri.
Pernyataan Hornby yang dikutip Soeharto (1988) mengatakan bahwa filosofi adalah
mempelajari berbagai prinsip yang mendasari aksi dan tinggkah laku manusia.
Miller (1986, 3) menyatakan bahwa: phylosphys
defined as a conceptual frame work for synthesis and evaluation that represents
a system of values to serve as a basis for making decisions that projects
vocation’s future.
Secara khusus filosofi pendidikan kejuruan
menurut Miller (1986) mempunyai tiga elemen pokok, yaitu: nature of reality, truth, and value. Sehingga falsafah pendidikan
kejuruan merupakan artikulasi sebagai dasar asumsi yang meliputi kenyataan,
kebenaran dan tata nilai. Pertama, landasan falsafah memandang adanya
ketentuan-ketentuan yang diperlukan oleh peserta didik dan strategi apa yang
sesuai dengan kebutuhan anak didik. Kedua, asumsi tentang perwujudan atau
kenyataan tentang kebenaran untuk memeberikan tuntunan dalam membentuk
kurikulum pendidikan kejuruan. Ketiga, kemudian dengan materi yang telah
diyakini kebenaran sesuai dengan falsafahnya, lembaga pendidikan mempunyai
tanggung jawab untuk melakukan pengajaran dengan benar, dan falsafah dapat
memberikan kepercayaan secara penuh dalam kebenaran pengetahuan yang diberikan.
Charles Prosser dalam Vocational Education in
Democracy (1949) yang dikutip oleh William G. Camp dan John H. Hillison (1984,
15-16) memberikan 16 butir dalil sebagai falsafah pendidikan kejuruan yaitu:
- Pendidikan kejuruan akan efisien apabila disediakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi nyata dimana lulusan akan bekerja.
- Latihan kejuruan akan efektif apabila diberikan tugas atau program seusai dengan apa yang dikerjakan kelak. Demikian pula fasilitas atau peralatan beserta proses kerja dan operasionalnya dibuat sama dengan kondisi nyata nantinya.
- Pendidikan kejuruan akan efektif bilmana latihan dan tugas yang diberikan secara langsung dan spesifik (dalam arti mengerjakan benda kerja sesungguhnya, bukan sekedar tiruan).
- Pendidikan kejuruan akan efektif bilamana dalam latihan kerja atau dalam pengerjaan tugas sudah dibiasakan pada kondisi nyata nantinya.
- Pendidikan kejuran akan efektif bilamana program-program yang disediakan adalah banyak dan bervariasi meliputi semua profesi serta mampu dimanfaatkan atau ditempuh oleh peserta didik.
- Latihan kejuruan akan efektif apabila diberikan secara berulang kali hingga diperoleh penguasaan yang memadai bagi peserta didik.
- Pendidikan kejuruan akan efektif bila para guru dan instrukturnya berpengalaman dan mampu mentransfer kepada peserta didik.
- Pendidikan kejuruan akan efektif bilamana mampu memberikan bekal kemampuan minimal yang dibutuhkan dunia kerja (sebagai standar minimal profesi), sehingga mudah adaptif dan mudah pengembangannya.
- Pendidikan kejuruan akan efektif apabila memperhatikan kondisi pasar kerja.
- Proses pemantapan belajar dan latihan peserta didik dalam pendidikan kejuruan akan efektif apabila diberikan secara proporsional.
- Sumber data yang dipergunakan untuk menentukan program pendidikan didasarkan atas pengalaman nyata pekerjaan di lapangan.
- Pendidikan kejuruan membeikan program tertentu yang mendasar sebagai dasar kejuruannya serta program lain sebagai pengayaan atau pengembangannnya.
- Pendidikan kejuruan akan efisien apabila sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan SDM untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja tertentu dan dalam waktu tertentu.
- Pendidikan kejuruan dapat dirasakan manfaatnya secara sosial kemasyarakatan termasuk memperhatikan hubungan kemanusiaan dan hubungan dengan masyarakat luar dunia pendidikan.
- Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien apabila bersifat fleksibel dan tidak bersifat kaku.
- Walaupun pendidikan kejuruan telah diusahakan dengan biaya investasi semaksimal mungkin, nmaun apabila sampai dalam batas minimal tersebut tidak efektif, maka lebih baik penyelenggaraan pendidikan kejuruan dibatalkan.
Berdasarkan
falsafah pendidikan kejuruan yang diuraikan di atas, khususnya dari Charles
Prosser dapat diasumsikan bahwa 16 butir falsafah tersebut juga sekaligus
kriteria dasar yang sagat esensial dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan.
Maksudnya dalah pendidikan kejuruan akan dikatakan dengan klasifikasi baik
apabila mampu memenuhi 16 kriteria falsafah pendidikan kejuruan tersebut. Secara ringkas dari 16 butir falsafah
pendidikan kejuruan dapat diringkas ke dalam 16 butir kriteria ideal pendidikan
kejuruan yang harus dipenuhi, yaitu: (1) lingkungan belajar; (2) program dan
fasilitas/peralatan; (3) praktek langsung; (4) budaya kerja; (5) kualitas
input; (6) praktek yang berulangkali; (7) tenaga pendidik yang berpengalaman;
(8) kemampuan minimal lulusan; (9) sesuai pasar kerja; (10) proporsi praktek;
(11) sumber data program dari pengalaman; (12) program dasar kejuruan dan
lanjut; (13) kebutuhan tertentu dan waktu tertentu; (14) hubungan dengan
masyarakat; (15) administrasi fleksibel; (16) biaya pendidikan.
Sedangkan Oemar Hamalik (1990)
secara tegas memberikan gambaran tentang falsafah pendidikan kejuruan dapat
dirangkum ke dalam enam hal yaitu:
1. Pekerjaan yang dipilih individu
harus berdasarkan pada orientasi individu itu sendiri, misalnya bakat, minat,
kemapuan, dan sebagainya.
2. Beberapa pekerjaan yang ditawarkan
meliputi semua aspek kehidupan.
3. Setiap individu harus mendapatkan
kesepatan untuk memilih jenis pekerjaan yang cocok dengan orientasi dan
kesempatan kerja yang sama.
4. Individu perlu mendapat dorongan
membangun masyarakartnya, berdasarkan pengetahuan, sklill, dan kesempatan kerja
yang ada.
5. Sumber-sumber pendidikan harus dapat
mengembangkan sumber daya manusia, menjadi individu yang mampu membantu
inidividu lainnya, sebagai pemimpin dan pembangun.
6. Alokasi sumber-sumber harus
merefleksi kebutuhan manusia.
Secara filosofis, penyusunan kurikulum SMK
perlu mempertimbangkan perkembangan psikologis peserta didik dan perkembangan
atau kondisi sosial budaya masyarakat.
a. Perkembangan
psikologis peserta didik
Manusia, secara umum mengalami
perkembangan psikologis sesuai dengan pertambahan usia dan berbagai faktor
lainnya; yaitu latar belakang pendidikan, ekonomi keluarga, dan lingkungan pergaulan, yang mengkibatkan
perbedaan dalam dimensi fisik, intelektual, emosional, dan spiritual. Pada
kurun usia peserta didik di SMK, mereka memiliki kecenderungan untuk mencari
identitas atau jati diri. Fondasi kejiwaan yang kuat diperlukan peserta didik
agar berani menghadapi, mampu beradaptasi dan mengatasi berbagai masalah
kehidupan, baik kehidupan profesional maupun kehidupan keseharian, yang selalu
berubah bentuk dan jenisnya serta meningkatkan diri dengan mengikuti pendidikan
yang lebih tinggi.
b. Kondisi sosial
budaya
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan
pemerintah. Pendidikan yang diterima dari lingkungan keluarga (informal),
diserap dari masyarakat (nonformal), maupun yang diperoleh dari sekolah
(formal) akan menyatu dalam diri peserta didik, menjadi satu kesatuan yang
utuh, saling mengisi dan diharapkan dapat saling memperkaya secara positif.
Peserta didik SMK berasal dari anggota
berbagai lingkungan msyarakat yang memiliki budaya, tata nilai, dan kondisi
sosial yang berbeda. Pendidikan kejuruan mempertimbangkan kondisi sosial, maka segala
upaya yang dilakukan harus selalu berpegang teguh pada keharmonisan hubungan
antar sesama individu dalam masyarakat luas yang dilandasi dengan akhlak dan
budi pekerti yang luhur, serta keharmonisan antar sistem pendidikan dengan
sosial budaya.
E.
Dimensi Ekonomi Pendidikan Kejuruan
Menurut
sejarah, pengembangan dan ketersediaan dari pendidikan kejuruan, sebagai sumber
dari penyedia tenaga kerja, telah menyertai pertumbuhan ekonomi. Di bawah
tenaga kerja yang berat/lebat menuntut pada ujung abad yang kedelapanbelas,
bangsa menghadapi suatu kekurangan yang serius tentang tenaga terampil. Gauntry
yang telah gagal tergantung pada Imigran yang Eropa, [siapa] yang telah membawa
dengan suatu latar belakang di (dalam) daerah angin pasat yang trampil.
Sekarang baru arus imigran sedang
mengurangi, dan bangsa kekurangan suatu sistem masa magang yang cukup untuk
pelatihan para pekerja.
Salah satu basis yang mendasari pendidikan kejuruan adalah
basis ekonomi, yakni kebijakan mengalokasikan sumber daya manusia sesuai dengan
pekerjaan yang terdapat dalam struktur masyarakat dinilai dari pemikiran
ekonomi atau justifikasinya dari segi ekonomi. Misalnya dilihat dari
efisiensinya,unit biayanya, dan nilai balikan atau imbal jasa (rate of return).
Hubungan dimensi ekonomi dengan pendidikan kejuruan secara
konseptual dapat dijelaskan dari kerangka investasi dan nilai balikan (value
of return) dari hasil pendidikan kejuruan. Dalam penyelenggaraan pendidikan
kejuruan, baik swasta maupun pemerintah semestinya pendidikan kejuruan memiliki
konsekuensi investasi lebih besar daripada pendidikan umum. Di samping itu,
hasil pendidikan kejuruan seharusnya memiliki peluang tingkat balikan (rate
of return) lebih cepat dibandingkan dengan pendidikan umum. Kondisi
tersebut dimungkinkan karena tujuan dan isi pendidikan kejuruan dirancang
sejalan dengan perkembangan masyarakat, baik menyangkut tugas-tugas pekerjaan
maupun pengembangan karir peserta didik.
1. Peran
Pendidikan dalam Perkembangan Ekonomi
Peranan pendidikan sangat dibutuhkan dalam memacu
pertumbuhan ekonomi, terutama dalam mengahadapi globalisasi yang penuh dengan
tantangan. Banyak ahli ekonomi yang beranggapan bahwa investasi pendidikan
mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi
dibandingkan dengan investasi modal. Jika melihat fenomena negara-negara
industri maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat yang memberikan penekanan
yang kuat terhadap pentingnya pendidikan, diyakini bahwa pendidikan tidak hanya
memberikan pengetahuan semata, tetapi mampu memberikan konstribusi positif terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan
pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Pertama, pendidikan adalah alat
untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis
manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah
fungsi teknisekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global.
Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan
ekonomi. Misalnya, pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam
ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang
maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang
berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan orang yang tidak
berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya
keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu, salah satu
tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan
hidup.
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate
of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain.
Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan
untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah
seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang
umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih
tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu
di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding
investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan
bahwa jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara
berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan,
sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap
pendidikan juga tinggi.
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak
fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi
politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan
merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan
sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya, pada tingkat
individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara
psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya
semaksimal mungkin.
Kontribusi pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi terjadi
melalui kemampuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang ada.
Pertumbuhan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh investasi modal, tetapi juga
tenaga kerja yang memiliki fleksibilitas dalam menguasai keterampilan baru
untuk melaksanakan pekerjaan baru, sejalan dengan perubahan struktur ekonomi
dan lapangan kerja (The 18 World Bank, 1991). Sementara itu, Hicks (1991)
dengan menggunakan data dari Bank Dunia, menyimpulkan bahwa negara-negara
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat income yang
lebih tinggi pula.
Hicks (1991) menjelaskan bagaimana memahami kontribusi
pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi, dengan cara mengetahui sebab-sebab
pertumbuhan serta proses pertumbuhan itu sendiri. Menurut Hicks, para ahli
ekomomi mengidentifikasikan tiga faktor produksi, yaitu lahan, tenaga kerja,
dan modal. Dalam proses pertumbuhan ekonomi, lahan diasumsikan tidak mengalami
perubahan. Sehingga, dua faktor kunci dalam pertumbuhan ekonomi adalah tenaga
kerja dan modal.
2.
Pendidikan Kejuruan Untuk Menciptkan
Tenaga Kerja Produktif
Pemenuhan tenaga kerja yang produktif dapat dilakukan dengan
pendidikan ketenagakerjaan. Pendidikan ketenagakerjaan non formal dan informal
dilakukan pada Balai Latihan Kerja (BLK), Community Centre (CC), lembaga
latihan kerja, kursus latihan kerja, dll. Sedangkan pendidikan ketenagakerjaan
secara formal umumnya dilakukan pada jenjang pendidikan menengah atas dan
pendidikan tinggi dengan jenis pendidikan kejuruan, vokasi, professional dan
akademik. (UUSPN no 20 Tahun 2003).
Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan
peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu (UU No. 13 tahun 2003).
Arti pendidikan kejuruan lebih spesifik dijelaskan dalam peraturan pemerintah
(PP) No. 29 tahun 1990, yaitu pendidikan pada jenjang menengah yang
mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan
tertentu. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
pasal 15 diuraikan bahwa SMK sebagai bentuk satuan pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.
Pendidikan kejuruan memiliki karakteristik yang berbeda dengan
pendidikan umum, baik ditinjau dari kriteria pendidikan, substansi pelajaran,
maupun lulusannya. Kriteria yang melekat pada sistem pendidikan kejuruan
menurut Finch dan Crunkilton (1984: 12-13) antara lain (1) orientasi pendidikan
dan pelatihan; (2) justifikasi untuk eksistensi dan legitimasi; (3) fokus pada
isi kurikulum; (4) kriteria keberhasilan pembelajaran; (5) kepekaan terhadap
perkembangan masyarakat; dan (6) hubungan kerjasama dengan masyarakat. Nolker
(1983), menyatakan bahwa dalam memilih substansi pelajaran, pendidikan kejuruan
harus selalu mengikuti perkembangan IPTEK, kebutuhan masyarakat, kebutuhan
individu, dan lapangan kerja.
Pemerintah terus mendorong lulusan SLTP untuk melanjutkan
pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan harapan mereka dapat
menjadi lulusan yang terampil dan siap kerja. Lulusan yang terampil dan
produktif sangat dibutuhkan di dunia industri yang saat ini menguasai sektor
ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa keunggulan industri di suatu negara
ditentukan oleh kualitas tenaga terampil yang terlibat langsung dalam proses
produksi. Beberapa alasan mengapa diperlukannya tenaga terampil sebagai
penopang keunggulan industri adalah: (1) tenaga terampil adalah orang yang
terlibat langsung dalam proses produksi barang maupun jasa; (2) tenaga terampil
sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan industri di suatu negara; (3)
persaingan global berkembang semakin ketat dan tajam, tenaga terampil adalah
faktor keunggulan menghadapi persaingan global; (4) kemajuan teknologi adalah
faktor penting dalam meningkatkan keunggulan, faktor keunggulan ini tergantung
pada tenaga terampil yang menguasai dan mengaplikasikannya; (5) orang yang
memiliki keterampilan memiliki peluang tinggi untuk bekerja dan produktif,
semakin banyak suatu negara mempunyai tenaga terampil dan produktif maka
semakin kuat pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan; dan (6) semakin
banyak negara mempunyai tenaga tidak terampil, maka semakin banyak kemungkinan
pengangguran yang akan menjadi beban ekonomi negara yang bersangkutan
(Djojonegoro, 1998).
Pendidikan kejuruan merupakan upaya mewujudkan peserta didik
menjadi manusia produktif, untuk mengisi kebutuhan terhadap peran-peran yang
berkaitan dengan peningkatan nilai tambah ekonomi masyarakat. Dalam kerangka
ini, dapat dikatakan bahwa lulusan pendidikan kejuruan seharusnya memiliki
nilai ekonomi lebih cepat dibandingkan pendidikan umum.
Pilihan alternatif antara memasuki pendidikan umum dan
pendidikan kejuruan serta kaitannya dengan kemanfaatan ekonomis bagi masyarakat
luas, menjadi bahasan yang menyangkut kebijakan pendidikan di tingkat menengah.
Demikian pulakaitannya dengan investasi yang cukup besar untuk mendanai
pendidikan kejuruan dibanding pendidikan umum, sering menjadi titik lemah
dimensi ekonomi pendidikan kejuruan.
Pekerja
yang dilatih;terlatih telah diperlukan untuk beroperasi dengan cepat bertumbuh
jumlah kebun dan pabrik-pabrik. yang berhadapan dengan Suatu kekurangan tenaga
kerja, industri dan pertanian, dua segmen yang paling besar dari ekonomi,
menuntut program dari latihan kejuruan di orang banyak/masyarakat sekolah
menengah. Gagasan di mana pendidikan kejuruan harus tersedia persediaan tenaga
kerja terpaksa dari segmen yang tertentu dari ekonomi menjadi ditempelkan di
hukum dengan jalan lintasan dari Smith-Hughes Bertindaklah, dan itulah yang
tetap berlaku di (dalam) perundang-undangan yang kejuruan sampai 1963.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian mengenai peran pendidikan
dalam pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa investasi di bidang pendidikan
berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi, seperti yang telah disimpulkan oleh
Boediono dan McMahon (2001). Joesoef, J.R, dkk (2007) dalam jurnalnya yang
berjudul“Peran SMK dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Sebuah Analisis
Makroekonomi” menyatakan bahwa SMK berperan positif dalam pertumbuhan ekonomi
daerah. Peran ini dapat dilacak dari tiga hal yang saling berurutan yaitu: (1)
preferensi masyarakat terhadap SMK, (2) kapasitas SMK bagi lulusan SMP, dan (3)
kemampuan SMK dalam mencetak lulusan yang berkualitas. Senada dengan hasil
penelitian sebelumnya, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Ke-juruan (2008)
melakukan penelitian yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara
rasio siswa SMK dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain itu, hasil
penelitiannya juga menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara rasio
siswa SMK dan laju pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan pemaparan di atas, jelaslah bahwa pendidikan vokasi
memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Selanjutnya,
bagaimana cara memaksimalkan kontribusi SMK dalam pembangunan ekonomi?. Menurut
Slamet, P.H (2012) upaya-upaya yang dapat memaksimalkan kontribusi pendidikan kejuruan untuk pembangunan ekonomi
dapat dilakukan dengan 4 cara, yaitu: menawarkan pendidikan kejuruan berdasarkan
karakteristik Indonesia, penguatan link
and match dengan dunia kerja, mengintegrasikansoft skill ke dalam pembelajaran,
dan menerapkan pendidikan kewirausahaan.
Pertama, menawarkan pendidikan kejuruan berdasarkan karakteristik
Indonesia. Ilmu-ilmu yang diajarkan kepada peserta didik pendidikan vokasi
semestinya ilmu-ilmu yang cocok untuk memfasilitasi pengembangan peserta didik
agar menjadi manusia seutuhnya dan ilmu-ilmu yang sesuai dengan karakteristik
Indonesia sebagai-mana disebut sebelumnya. Keduanya sama-sama diperlukan dan
jangan sampai terpeleset mengorbankan salah satu. Mengorbankan pengembang-an
eksistensi peserta didik berarti men-dehumanisasi manusia dan mengembangkan
peserta didik yang tidak ada keselarannya dengan kebutuhan masyarakat, khususnya
dunia kerja, akan membuat pendidikan vokasi terisolasi dan terlepaskan dari
kait-annya dengan masyarakat, terutama dengan dunia kerja. Jika ini terjadi,
maka pendidikan vokasi tidak ber-peran sama sekali terhadap pembangunan
masyarakat.
Kedua,
Memperkuat kemampuan
soft skills peserta didik
pendidikan vokasi melalui berbagai ragam cara. Secara matematis, soft skills
= kualitas intrapersonal + keterampilan
interpersonal. Kualitas intrapersonal
adalah kuali-tas batiniah (kualitas
rohaniah) ma-nusia yang bersumber
dari dalam lu-buk hati manusia yang dimensi-di-mensinya meliputi antara lain
kerendahan hati, harga diri, integritas, tang-gung jawab, komitmen, motivasi
diri, rasa keingintahuan, menyukai apa yang belum diketahui (umumnya manusia menyukai
apa yang sudah diketahui), kejujuran, kerajinan, kasih sayang (cinta sesama),
disiplin diri, kontrol diri, kesadaran diri, dapat di-percaya, dan
berjiwa kewirausahaan dimana yang terakhir ini umumnya bersumber dari
pendidikan yang me-merdekakan manusia sehingga tidak tertekan dan menjadi
kreatif yang aki-batnya menjadi inovatif dan mampu membentuk jiwa kewirausahaan
ma-nusia. Tentu saja masih
banyak di-mensi
kualitas intrapersonal
yang lain, tetapi terlalu banyak untuk dise-but satu per satu.
Keterampilan interpersonal
adalah keterampilan yang
berkaitan dengan
hubungan antar
manusia yang dimensi-dimensinya meliputi
antara lain
bertanggung jawab atas semua
perbuatannya, si-kap hormat/respek kepada orang lain, perdamaian, kecintaan
kepada sesama, komunikasi yang mengenak-kan, kepemimpinan, kerjasama/kerja
kelompok, kehalusan berbudi, sosia-bilitas, solidaritas, toleransi/tenggang
rasa, bijaksana, beradap, berani ber-buat benar meskipun tidak populer,
demokratis, sikap adil, sikap tertib, dan masih banyak dimensi-dimensi keterampilan
interpersonal lainnya yang terlalu
banyak untuk
disebut satu
per satu. Istilah soft skills
sangat erat kaitannya dengan istilah-istilah
lain, seperti karakter, akhlak, budi
pekerti, kecerdasan emosi, nilai-nilai kehidupan
(living values), moralitas, personality,
dan employability
skills bagi
yang sudah
bekerja. Sepanjang berurusan
dengan hubungan antarma-nusia
yang dilandasi oleh humanitas, itu
disebut soft skills.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
kejuruan memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia,
yakni melalui kemampuan untuk menghasilkan SDM atau tenaga kerja yang terampil
dan produktif sesuai tuntutan era globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar