Minggu, 16 November 2014

LANDASAN PENDIDIKAN KEJURUAN



TINJAUAN KRONOLOGIS HISTORI PENDIDIKAN
(PENDIDIKAN UMUM & VOKASI)
LANDASAN FILOSOFI PENDIDIKAN KEJURUAN
DIMENSI EKONOMI PENDIDIKAN KEJURUAN

A.    Pendidikan Umum
1.      Pendahuluan
Pendidikan yang merupakan proses meniti hamparan kehidupan yang panjang, menempati ruang dan waktu yang membentang sepanjang usia didik. Pendidikan berusaha membuat anak menemukan diri, kemampuan, keterampilan, kecerdasan, dan kepribadian secara optimal. Sebagaimana telah kita pahami bahwa pengembangan manusia seutuhnya telah menjadi tujuan pendidikan nasional, dan mungkin saja telah menjadi tujuan pendidikan nasional di berbagai negara. Tetapi pada kenyataannya kita sering kurang jelas atau kesulitan menemukan gambaran manusia seutuhnya, dan akan lebih sulit lagi ketika harus merumuskan bagaimana mengembangkan manusia yang utuh, terintegrasi, selaras, serasi dan seimbang dari berbagai aspek dan potensi yang dimiliki manusia. Menurut Manfur (1999;62) secara garis besar sasaran Pendidikan Umum adalah semua manusia dalam berbagai usia, keberadaan, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan dalam status apapun. Yang dimaksud dengan semua manusia dalam berbagai usia adalah secara keseluruhan manusia dari mulai anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Tentunya kita sadar bahwa proses pendidikan yang ada di Indonesia adalah proses pendidikan sepanjang hayat, mengandung arti bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan selama dia hidup di dunia ini, akan tetapi yang dimaksud dengan sasaran pendidikan yang mencakup semua manusia dalam berbagai usia disini adalah tentang perilaku kehidupannya secara umum. Bagaimana anak-anak hidup dalam kehidupannya sendiri yang dilandasi oleh nilai moral, norma yang dia miliki pada waktu atau masa kanak-kanaknya.
Kehidupan manusia remaja yang tentunya memiliki kehidupan tersendiri dalam dunianya yang senantiasa itu semua harus memiliki makna hidup yang sesuai dengan nilai moral, norma masyarakat yang berlaku. Demikian halnya usia dewasa dan orang tua dalam kehidupannya harus memiliki tatanan yang jelas tentang dasar kehidupannya sebagai orang yang dituakan, yang harus memberikan suri tauladan bagi anak-anaknya dan generasi lainnya. Secara nilai moral, norma orang dewasa dan orang tua akan lebih mapan dalam hidup dan penghidupannya. Keberadaan sebagai salah satu sasaran dari Pendidikan Umum diartikan sebagai status sosial masyarakat yang dimiliki oleh orang-orang tertentu, bagaimana nilai moral, norma yang nampak pada kehidupan manusia yang menjadi pegawai negeri, pejabat pemerintah, guru, buruh tentara, polisi, petani, pedagang dan lain sebagainya.
Perbedaan itu seolah-olah akan menjadi suatu tingkatan yang menentukan terhadap perilaku kehidupan dari nilai moral, norma yang dimilikinya. Tingkat pendidikan merupakan sasaran Pendidikan Umum karena ada kesan bahwa dengan tingkat pendidikan rendah maka nilai moral, norma yang dimiliki terkesan akan rendah juga, dan sebaliknya apabila tingkat pendidikannya tinggi maka nilai moral, norma yang dimilikinya pun akan tinggi. Hal ini mungkin ada benarnya juga dan mungkin ada salahnya juga karena masalah pemahaman dan pelaksanaan nilai moral, norma dalam kehidupan manusia tidak sepenuhnya ditentukan atau dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
Secara umum, pendidikan merupakan segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Secara khusus, pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang berlangsung di dalam dan luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang.
2.      Aspek Histori
Yang dimaksud dengan sejarah/historis adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya (Pidarta, 2007: 109)
Yang dimaksud dengan landasan historis pendidikan adalah sejarah pendidikan di masa lalu yang menjadi acuan terhadap pengembangan pendidikan di masa kini.
3.      Landasan Histori Pendidikan
Landasan historis pendidikan Nasional Indonesia tidak terlepas dari sejarah bangsa indonesia itu sendiri. Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang sejak zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai datangnya bangsa lain yang menjajah serta menguasai bangsa Indonesia. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dalam perjalanan hidupnya berjuang untuk menemukan jati dirinya sebagai suatu bangsa yang merdeka, mandiri serta memiliki suatu  prinsip yang tersimpul dalam  pandangan hidup serta  filsafat hidup bangsa. Pada akhirnya bangsa Indonesia menemukan jati dirinya, yang di dalamnya tersimpul ciri khas, sifat dan karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Para pendiri negara kita merumuskan negara kita dalam suatu rumusan yang sederhana namun mendalam, yang meliputi 5 prinsip (lima sila) yang kemudian diberi nama Pancasila.
Jadi, secara historis nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara objektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilai-nilai Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri. Konsekuensinya, Pancasila berkedudukan sebagai dasar filsafat negara serta ideology bangsa dan negara, bukan sebagai suatu ideology yang menguasai bangsa, namun justru nilai-nilai dari sila-sila Pancasila itu melekat dan berasal dari bangsa Indonesia itu sendiri
Dengan kata lain, tinjauan landasan sejarah atau historis Pendidikan Nasional Indonesia merupakan pandangan ke masa lalu atau pandangan retrospektif. Pandangan ini melahirkan studi-studi historis tentang proses perjalanan pendidikan nasional Indonesia yang terjadi pada periode tertentu di masa yang lampau.
Dengan demikian, setiap bidang kegiatan yang ingin dicapai manusia untuk maju, pada umumnya dikaitkan dengan bagaimana keadaan bidang tersebut pada masa yang lampau (Pidarta, 2007: 110). Demikian juga halnya dengan bidang pendidikan. Sejarah pendidikan merupakan bahan pembanding untuk memajukan pendidikan suatu bangsa. Sejarah telah memberi penerangan, contoh, dan teladan bagi manusia dan diharapkan akan dapat meningkatkan peradaban manusia itu sendiri di masa kini dan masa yang akan datang.:
a.      Sejarah pendidikan dunia
Sejarah pendidikan dunia yang memberikan pengaruh pada pendidikan zaman sekarang meliputi zaman-zaman: (1) Realisme, (2) Rasionalisme, (3) Naturalisme, (4) Developmentalisme, (5) Nasionalisme, (6) Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme, serta (7) Sosialisme.
1.      Zaman Realisme
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh penemuan-penemuan ilmiah baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia dan bersumber dari keadaan dunia pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan sebelumya yang banyak berkiblat pada dunia ide, dunia surga dan akhirat. Realisme menghendaki pikiran yang praktis). Menurut aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh tidak hanya melalui penginderaan semata tetapi juga melalui persepsi penginderaan (Mudyahardjo, 2008: 117). Tokoh-tokoh pendidikan zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius.
2.      Zaman Rasionalisme
Tokoh pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke Aliran ini memberikan kekuasaan pada manusia untuk berfikir sendiri dan bertindak untuk dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya sendiri dan bertindak untuk dirinya. Paham ini muncul karena masyarakat dengan kekuatan akalnya dapat menumbangkan kekuasaan Raja Perancis yang memiliki kekuasaan absolut. Teorinya yang terkenal adalah leon Tabularasa, yaitu mendidik seperti menulis di atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan akal yang dimilikinya manusia digunakan untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Teori yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal yang negatif, seperti intelektualisme, individualisme, dan materialism.
3.      Zaman Naruralisme
Pada abad ke-18 muncullah aliran Naturalisme Sebagai reaksi terhadap aliran Rasionalisme dengan tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini menentang kehidupan yang tidak wajar sebagai kibat dari Rasionalisme, seperti gaya hidup yang diperhalus, cara hidup yang dibuat-buat sampai pada korupsi, anak-anak dipandang sebagai manusia dewasa yang kecil. Naturalisme menginginkan keseimbangan antara kekuatan rasio dengan hati (Pidarta, 2007: 115).
4.      Zaman Developmentalisme
Zaman Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran ini sering disebut gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Pestalozzi, Johan Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel, dan Stanley Hall.
5.      Zaman Nasionalisme
Zaman nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk patriot-patriot bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum imperialis. Tokoh-tokohnya adalah La Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan Jefferson (Amerika Serikat).
6.      Zaman Liberalisme, Positivisme dan Individualisme
Zaman ini lahir pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat bahwa pendidikan adalah alat untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan yang dipelopori dalam bidang ekonomi oleh Adam Smith dan siapa yang banyak berpengetahuan dialah yang berkuasa yang kemudian mengarah pada individualisme. Sedangkan positivisme percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indera sehingga kepercayaan terhadap agama semakin melemah. Tokoh aliran positivisme adalah August Comte .


7.      Zaman Sosialisme
Aliran sosial dalam pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap dampak liberalisme, positivisme, dan individualisme. Tokoh-tokohnya adalah Paul Nartorp, George Kerchensteiner (jerman), dan John Dewey (Amerik Serikat). Menurut aliran ini, masyarakat memiliki arti yang lebih penting daripada individu. Nartorp  mengatakan individu itu ibarat atom-atom yang tidak memiliki arti bila tidak berwujud benda.
b.      Sejarah Pendidikan Indonesia:
1.      Zaman Pengaruh Hindu dan Budha (Purba)
Hinduisme and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama yang berbeda, namun di Indonesia keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur Syiwa dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika, secara etimologis berasal dari keyakinan tersebut (Mudyahardjo, 2008: 215).
2.      Zaman Pengaruh Islam (Tradisional)
Agama islam yang dibawa oleh pedagang dari Persia dan Gujarat ke Indonesia. Agama Islam mudah tersebar karena agama Islam dapat bersatu dengan kebudayaan Indonesia. Keduanya dapat saling membantu dan saling mempengaruhi. Agama Islam besar sekali pengaruhnya di dalam mendidik rakyat jelata. Berbeda dengan Agama Hindu dan Budha, Agama Islam menyiarkan Agamanya mulai dari bawah/dari rakyat biasa. Para Ulama sangat dekat dengan rakyat biasa, mereka bisa hidup bersama dengan rakyat biasa. Bentuk pendidikan yang Islam ada 3 macam, yaitu di Langgar, Pesantren, dan Madrasah.
3.      Zaman Pengaruh Nasrani (Katholik dan Kristen)
Bangsa Portugis pada abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan dan perniagaan Timur-Barat dengan cara menemukan jalan laut menuju dunia Timur serta menguasai bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang menjadi mata rantai perdagaan dan perniagaan (Mudyahardjo, 2008: 242).
Di samping mencari kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold), bangsa Portugis datang ke Timur (termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan agama yang mereka anut, yakni Katholik (gospel). Pada akhirnya pedagang Portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu dihasilkan. Namun kekuasaan Portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja di Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605 (Nasution, 2008: 4). Dalam setiap operasi perdagangan, mereka menyertakan para paderi misionaris Paderi yang terkenal di Maluku, sebagai salah satu pijakan Portugis dalam menjalankan misinya, adalah Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.
Sedangkan pengaruh Kristen berasal dari orang-orang Belanda yang datang pertama kali tahun1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan tujuan untuk mencari rempah-rempah. Untuk menghindari persaingan di antara mereka, pemerintah Belanda mendirikan suatu kongsi dagang yang disebut VOC (vreenigds Oost Indische Compagnie) atau Persekutuan Dagang Hindia Belanda tahun 1602 (Mudyahardjo, 2008: 245).
Sikap VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya Pendidikan Tradisional di Nusantara, mendukung diselenggarakannya sekolah-sekolah yang bertujuan menyebarkan agama Kristen. Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur Indonesia di mana Katholik telah berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat administrasi kolonial. Tujuannya untuk melenyapkan agama Katholik dengan menyebarkan agama Kristen Protestan, Calvinisme (Nasution, 2008: 4-5).
4.      Zaman Kolonial Belanda
Tujuan bangsa Belanda ke Indonesia juga sama dengan bangsa Spanyol dan Portugis. Belanda mendirikan sekolah-sekolah yang tidak hanya mengjarkan agama saja, tetapi juga mengajarkan pengetahuan umum. Sekolah-sekolah banyak didirikan di Pulau Ambon, Ternate, dan Bacan (Maluku). Sekolah-sekolah ini tidak hanya mengajarkan khusus agama saja, tetapi juga mengejarkan pengetahuan umum. Bahasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa Melayu dan Belanda. Selain itu mereka juga mendirikan sekolah untuk calon pegawai VOC. Sekolah ini didirikan di Ambon dan Jakarta (rizal, 2008).
Meskipun sekolah-sekolah telah banyak berdiri, tetapi secara vormal, sekolah-sekolah itu tidak didirikan atas nama VOC, tetapi didirikan oleh orang-orang dari kalangan agama, yaitu agama Kristen Protestan. Oleh karena itu, kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal dengan masuknya ide-ide liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19.
5.      Zaman Kolonial Jepang
Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Jepang tetap berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah dan terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka (Rohmawati, 2008).
Meskipun demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang di Indonesia. Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia untuk merealisasi Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada dunia (rohmawati, 2008).
Sekolah-sekolah yang ada pada jaman Belanda semenjak Jepang datang ke Indonesia diganti dengan sistem Jepang. Murid hanya mendapat pengetahuan sedikit, dan hampir sepanjang hari hanya diisi dengan kegiatan latihan perang atau bekerja. Sistem sekolah di masa Jepang banyak berbeda dengan penjajahan Belanda
6.      Zaman Kemerdekaan (Awal)
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak berhenti sampai di sini karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia datang silih berganti sehingga bidang pendidikan pada saat itu bukanlah prioritas utama karena konsentrasi bangsa Indonesia adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan perjuangan yang amat berat.
Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang mengatur pendidikan. Sistem persekolahan di Indonesia yang telah dipersatukan oleh penjajah Jepang terus disempurnakan. Namun dalam pelaksanaannya belum tercapai sesuai dengan yang diharapkan bahkan banyak pendidikan di daerah-daerah tidak dapat dilaksanakan karena faktor keamanan para pelajarnya. Di samping itu, banyak pelajar yang ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan sehingga tidak dapat bersekolah.
7.      Zaman ‘Orde Lama’
Setelah gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk mengisi kemerdekaan mulai digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di berbagai bidang, baik spiritual maupun material (Rohmawati: 2008).
Setelah diadakan konsolidasi yang intensif, sistem pendidikan Indonesia terdiri atas: Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Dan pendidikan harus membimbing para siswanya agar menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Sesuai dengan dasar keadilan sosial, sekolah harus terbuka untuk tiap-tiap penduduk negara (Rahmawati; 2008).
Di samping itu, Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah pendidikan yang dapat membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat menyelesaikan revolusinya baik di dalam maupun di luar; pendidikan yang secara spiritual membina bangsa yang ber-Pancasila dan melaksanakan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia, dan merealisasikan ketiga kerangka tujuan Revolusi Indonesia sesuai dengan Manipol yaitu membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berwilayah dari Sabang sampai Merauke, menyelenggarakan masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan makmur lahir-batin, melenyapkan kolonialisme, mengusahakan dunia baru, tanpa penjajahan, penindasan dan penghisapan, ke arah perdamaian, persahabatan nasional yang sejati dan abadi (Mudyahardjo, 2008: 403).
8.      Zaman ‘Orde Baru’
Orde Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965 dan ditandai oleh upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Haluan penyelenggaraan pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Di samping itu, dikembangkan kebijakan link and match di bidang pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini dijadikan strategi operasional dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar (Pidarta, 2008: 137-38). Inovasi-inovasi pendidikan juga dilakukan untuk mencapai sasaran pendidikan yang diinginkan. Sistem pendidikannya adalah sentralisasi dengan berpusat pada pemerintah pusat.
Namun demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki beberapa kesenjangan. Buchori (Dalam Pidarta 2008: 139-140) mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu (1) kesenjangan okupasional (antara pendidikan dan dunia kerja), (2) kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari), (3) kesenjangan kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan klasik dan humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi), dan (4) kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang dimiliki dengan wawasan dunia terkini).
Namun demikian keberhasilan pembangunan yang menonjol pada zaman ini adalah (1) kesadaran beragama dan kenagsaan meningkat dengan pesat, (2) persatuan dan kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meningkat (Pidarta, 2008: 141).
9.      Zaman ‘Reformasi’
Selama Orde Baru berlangsung, rezim yang berkuasa sangat leluasa melakukan hal-hal yang mereka inginkan tanpa ada yang berani melakukan pertentangan dan perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai terbesar saat itu. Hampir tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk berbicara dan menyaampaikan pendapatnya (ibid.: 143).
Begitu Orde Baru jatuh pada tahun 1998 masyarakat merasa bebas bagaikan burung yang baru lepas dari sangkarnya yang telah membelenggunya selama bertahun-tahun. Masa Reformasi ini pada awalnya lebih banyak bersifat mengejar kebebasan tanpa program yang jelas.
Sementara itu, ekonomi Indonesia semakin terpuruk, pengangguran bertambah banyak, demikian juga halnya dengan penduduk miskin. Korupsi semakin hebat dan semakin sulit diberantas. Namun demikian, dalam bidang pendidikan ada perubahan-perubahan dengan munculnya Undang-Undang Pendidikan yang baru dan mengubah sistem pendidikan sentralisasi menjadi desentralisasi, di samping itu kesejahteraan tenaga kependidikan perlahan-lahan meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga diupayakan, misalnya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Life Skills (Lima Ketrampilan Hidup), TQM (Total Quality Management) KTSP (Kurikulum Satuan Pendidikan).
c.       Landasan Filosofi Pendidikan Umum
Endang Saifuddin (1987:96) berpendapat bahwa terdapat banyak aliran-aliran penting dalam etika, minimal ada enam aliran:
1.      Aliran Etika Naturalisme ialah aliran yang beranggapan bahwa kebahagian manusia itu didapatkan dengan menurutkan panggilan natura (fitrah) kejadian manusia itu sendiri.
2.      Aliran Etika Hedonisme ialah aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan dan kelezatan).
3.      Aliran Etika Utilitarianisme ialah aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ditinjau dari kecil dan besarnya manfaat bagi manusia (utility: manfaat).
4.      Aliran Etika idealisme ialah aliran yang berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab-musabab lahir, tetapi haruslah berdasarkan pada prinsip kerohanian (idea) yang lebih tinggi.
5.      Aliran Etika Vitalisme ialah yang menilai baik buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada tidak adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.
6.      Aliran Etika Theologis ialah aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai dan tidak sesuainya dengan perintah Tuhan (Theos = Tuhan).
Berdasarkan uraian tersebut diatas dari ke enam aliran tentang etika yang paling mendasari dalam kehidupan manusia di dunia ini adalah etika Theologis, karena manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan harus yakin bahwa kehidupan di dunia ini merupakan kehidupan sementara dan akan mengalami suatu kehidupan yang kekal dan abadi di akhirat kelak. Apabila melihat jumlah penduduk Indonesia adalah suatu bangsa yang menganut Agama Islam sebanyak 90% lebih, ini memberikan suatu jaminan bahwa pola hidup bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang Islami dengan tata nilai-moral-norma yang Islami pula.
Kenyataan dalam kehidupan bangsa Indonesia sekarang sangat jauh dari kehidupan yang Islami ini, dan ini adalah suatu tugas Pendidikan Umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan Umum (pendidikan nilai) sangat diperlukan sekali dengan kondisi kehidupan bangsa seperti ini. Ada satu hal yang perlu dikaji disini menurut Shri Krishna Saksena mantan ketua departemen of philosophy di Hindu College, Delhi, mengawali tulisan beliau berjudul ”Kedudukan filsafat desawa ini” (E. Saefuddin, 1987:107) dikatakan bahwa: Pengetahuan filsafat tidak menghasilkan keyakinan oleh karena alat filsafat untuk tugas tersebut tidak mencukupi. Satu-satunya alat yang dipergunakan oleh filsafat ialah akal. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang diberikan kelebihan dari makhluk lainnya yaitu akal, akan tetapi akal dalam kontek penggunaannya oleh manusia ada yang bersifat positif dan negatif, disinilah letak peranan Pendidikan Umum dalam membina manusia dalam hidup dan penghidupannya.
Landasan Sosial Kultural Pendidikan Umum dalam kehidupan sosial budaya saat ini manusia sudah mengarah kepada kehidupan yang individualistis, yang tidak lagi bisa menghargai/menghormati orang lain, sekalipun itu adalah tetangganya sendiri atau saudaranya sendiri. Seolah-olah mereka tidak saling kenal, ini merupakan suatu gejala kehidupan yang mencolok dalam kehidupan kota, dan didesa pun sudah mulai nampak erat hubungannya dengan gejala urbanisasi – ialah bahwa cara bekerja, cara tradisional untuk memperoleh nafkah hidup berubah secara individualistis. Perubahan-perubahan dalam lingkungan hidup dan kerja itu disertai dengan perubahan dalam nilai-nilai budaya, moral, dan agama. Perubahan-peruabahan itu nampak juga dalam perilaku/sikap orangnya, misalnya bahwa penggunaan tatakrama dalam pergaulan sudah tidak dipakai lagi, anak-anak sudah banyak yang tidak menghargai lagi orang tuanya, berpindah-pindah agama, dan lain sebagainya. Franz Magnis (1986 : 22) mengatakan apa yang menyebabkan perubahan-perubahan sosial itu? satu jawaban yang sering dikemukakan ialah bahwa semua itu disebabkan oleh suatu kemerosotan akhlak manusia. Jawaban ini pincang karena dua alasan: Pertama, belum pasti bahwa semua perubahan-perubahan itu harus diartikan sebagai kemerosotan, salah satu gejala positif misalnya adalah kesadaran yang semakin umum tentang martabat manusia (orang menonak hukum mati) dan hak-hak asasinya. Kedua, kalau memang ada kemerosotan moral, maka kemerosotan moral adalah akibat dan bukan sebab dari perubahan-perubahan sosial itu. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor-faktor pokok yang menyebabkan perubahan-perubahan sosial itu satu sama lain berkaitan erat, saling mendukung dan menunjang, seperti : pertambahan jumlah penduduk, pengaruh teknologi modern dan kekuatan. Kekuatan ekonomi internasional, lalu lintas komunikasi internasioan yang menghubungkan kita dalam waktu sekejap dengan semua daerah lain didunia, seluruh sistem pendidikan, dan lain sebagainnya. Berdasarkan uraian tersebut diatas, Pendidikan Umum sangat perlu sekali disampaikan terhadap peserta didik, baik sebagai anggota keluarga, masyarakat, bangsa, dan warga negara yang baik ataupun dalam tingkat pendidikan dari mulai TK sampai dengan perguruan tinggi.
B.     Azas Pendidikan Umum
Menurut Ki Hadjar Dewantara ada lima asas dalam pendidikan yaitu :
1.      Asas kemerdekaan; Memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi bukan kebebasan yang leluasa, terbuka, melainkan kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan individu maupun sebagai anggota masyarakat.
2.      Asas kodrat alam; Pada dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main, tiap orang diberi keleluasaan, dibiarkan, dibimbing untuk berkembang secara wajar menurut kodratnya.
3.      Asas kebudayaan; Berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti kebudyaan luar yang telah maju sesuai dengan jaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi acauan utama (jati diri).
4.      Asas kebangsaan; Membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka dan duka, perjuangan bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain, menciptakan keserasian dengan bangsa lain.
5.      Asas kemanusiaan; Mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan.
Berdasarkan uraian tersebut tersebut bahwa lima asas pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara harus menjadi asas-asas Pendidikan Umum, karena pada dasarnya memperlakukan manusia yang manusiawi terkandung dalam kelima asas tersebut. Bagaimana kita menghargai individu dalam hubungannya dengan asas kemerdekaan, bagaimana kita memperlakukan alam dalam konteks kebutuhan hidup manusia, bagaimana peran kebudayaan terhadap manusianya sebagai warna kultur yang membentuk pribadi dan watak suatu masyarakat atau bangsa, bagaimana konsep kebersamaan kebangsaan dan perjuangan bangsa menimbulkan suatu sikap saling memiliki, dan bagaimana asas kemanusiaan sebagai bentuk pengakuan bahwa tidak ada perbedaan pada tingkat/tatanan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tidak mengenal pangkat, kedudukan, status sosial ekonomi dan sebagainya, dan yang membedakan adalah hanya keimanan dan ketaqwaan di hadapan Tuhan.
C.    Pendidikan Vokasi
1.      Pendahuluan
Pendidikan merupakan upaya merekonstruksi suatu peradaban yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupan menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya.
Dalam Undang- undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Banyak factor yang  mempengaruhi pengembangan pendidikan di negara kita, tidak satupun pengembangan itu merupakan peninggalan dari penduduk amerika pertama. Meskipun mereka memiliki latar belakang yang berbeda, penduduk amerika pertama ini terbagi menjadi 2 kelompok. Pertama yaitu kelompok yang menganggap kepentingan individu diatas kepentingan kelompok. Kepercayaan”bahwa pemerintah adalah yang terbaik yang mempunyai perananan sedikit” telah membuat karakter pemerintah amerika. Hal yang  sama yaitu peran pemerintah terhadap pendidikan. Dalam beberapa tahun tanggung jawab terhadap pendidikan telah diserahkan pada komunitas lokal, Negara bagian, dan pihak-pihak swasta untuk menyediakan penddikan bagi masyarakat. Bahkan kemudan diabad 20 komunitas lokal terus bekerja keras untuk menjaga kontrol mereka terhadap sekolah. Kelompok kedua yaitu kelompok yang menganggap bahwa para individu-individu seharusnya memiliki kebebasan untuk mengatur sendiri jalan hidup mereka. Pandangan ini membetuk dasar-dasar system perusahaan swasta dimana keuntungan merupakan motivasi utamannya.
Pendidikan vokasi merupakan jenjang pendidikan yang selalu dinamis dalam melakukan perubahan kurikulum pendidikan sesuai dengan pertumbuhan pasar kerja dan beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini berarti pendidikan vokasi akan selalu mengalami pergeseran paradigma. Menurut Pavlova (2009) dengan pertimbangan bahwa aktivitas ekonomi sangat ditentukan adanya perubahan teknologi yang cepat pada masa mendatang, maka orientasi pendidikan vokasi d iarahkan menjadi pendidikan bekerja (work education) atau pendidikan teknologi (technology education)
Secara tradisional, menurut Pavlova (2009) pendidikan vokasi merupakan pendidikan dengan tujuan utama mempersiapkan untuk bekerja dengan menggunakan pen dekatan pendidikan berbasis kompetensi. Selan jutnya, menurut Pavlova (2009) pendidikan bekerja merupakan program pendidikan dengan tiga komponen yang saling terkait, yaitu: pembelajaran untuk bekerja (learning for  work), pembelajaran tentang bekerja(learning about work), dan pemahaman sifat dasar bekerja (understanding the nature of work)
2.      Sejarah Pendidikan Vokasi
Pendidikan vokasi pada awal sejarahnya berkembang di berbagai negara. Sebagai contoh, pengembangan pendidikan vokasi sudah dimulai pada Mesir Kuno sekitar 2000 tahun sebelum masehi. Program-program magang yang terorganisir (apprenticeship) mencakup belajar kemampuan dasar menulis dan membaca karya sastra. Hal tersebut sebagai usaha awal penggabungan antara  belajar di kelas untuk kemampuan-kemampuan dasar dan belajar langsung di tempat kerja. Cara ini sempat menyebar ke berbagai bagian dunia lain sampai sekitar abad ke-19 (Ana: 2009).
Sedangkan di Cina, perkembangan pendidikan vokasi di mulai pada Masa Konfusianisme, akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Tujuan pendidikan  pada masa itu adalah untuk menciptakan sebuah tatanan sosial yang ideal dimana orang bisa hidup dalam harmoni, rasa hormat dan ketulusan (konfusianisme). Pendidikan Vokasi diajarkan oleh orang tua masyarakat kelas bawah. Filsafat Pendidikan Vokasi diperkenalkan oleh Mo Tzu (476– 390 SM). Ia berpendapat  bahwa pendidikan vokasi jangan hanya fokus pada keahlian melainkan juga pada ilmu pengetahuan, moral, dan bagaimana menciptakan makna (Schmidtke,C., & Chen,P. :2012).
Di Indonesia, awal perkembangan pendidikan vokasi bermula ketika zaman pejajahan Belanda. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel ) tahun 1830 dan Sistem Liberal tahun 1870 yang dilaksanakan Pemerintah Belanda di tanah  jajahannya, Hindia Belanda, merupakan politik pengerukan keuntungan yang luar  biasa. Dan dari sinilah muncul Politik Etika yang dicanangkan Ratu Belanda dalam sidang parlemen Belanda tahun 1901. Sejak pencangan Politik Etika inilah,  pemerintah Balanda berusaha mengembangkan ekonomi agar memiliki anggaran sendiri dan akhirnya dari pendidikanlah unsur yang perlu dibenahi dan dibangun. Pendidkan vokasi adalah salah satu di dalamnya, dimana dari sekolah vokasi akan diperoleh lulusan dengan keahlian teknik. Pada permulaannya, pendidikan vokasi yang pertama kali adalah Sekolah Pertukangan, sekolah yang merupakan sarana yang digunakan untuk memajukan pertukangan di Indonesia (Supriadi: 2002).
3.      Perkembangan Pendidikan Vokasi di Indonesia
Perkembangan pendidikan vokasi di Indonesia dibagi menjadi 2 periode, yaitu: Pra Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan. Pada periode Pra Kemerdekaan,  pendidikan vokasi di Indonesia berawal dari pemikiran Ratu Belanda yaitu Politik Etika ( Etische Politiek ) merupakan bentuk pertanggungjawaban politik Pemerintah Belanda terhadap Hindia Belanda (Indonesia) atas diberlakukannya Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel ) tahun 1830 dan Sistem Liberal tahun 1870 yang dilaksanakan Pemerintah Belanda.
Pendidikan kejuruan yang pertama kali adalah Sekolah Pertukangan, sekolah yang merupakan sarana yang digunakan untuk memajukan pertukangan di Indonesia, kemudian berkembang lagi Pendidikan Kejuruan Pertanian yaitu sekolah yang berkonsentrasi pada kursus untuk pendidikan pertanian praktis. Kemudian dibangun Pendidikan Kejuruan Teknik, dimana banyak sekali keahlian yang dikembangkan seperti keahlian bangunan, keahlian pertambangan,  pendidikan masinis, dan lain-lain. Inilah sejarah singkat mengapa ada pendidkan kejuruan dan bagaimana prosesnya, walaupun bagaimana juga pendidikan yang awalnya oleh pemerintah Belanda hanya untuk kebangsaan Eropa dan China, tetapi akhirnya mereka mengembangkan untuk masyarakat Pribumi (Supriadi: 2002).
Seperti yang dijelaskan Supriadi (2002) dalam bukunya Sejarah Pendidikan Teknik dan Vokasi di Indonesia, pada periode Pasca Kemerdekaan,
Pendidikan vokasi dibagi menjadi tiga babak yaitu: Pertama, tahun 1945-1968 yaitu sejak diproklamasikan kemerdekaan Indonesia sampai sebelum pelaksanaan Pelita I. Pada periode ini mulai dilakukannya pendekatan ke masyarakat akan  pentingnya pendidikan (social demand approach). Pendidikan vokasi dianggap mampu menghasilkan tamatan yang dapat langsung bekerja namun keadaan sekolah kejuruan memprihatinkan dengan fasilitas yang sangat minim. Pendidikan vokasi yang dikenal pada saat itu adalah STM dan SMEA.
Kedua, pelaksanaan Pelita tahun 1969/1970 hingga akhir Pelita VI tahun 1997/1998. Pada masa ini dilakukan pendekatan kebutuhan tenaga kerja (manpower demand approach) secara terbatas, proses mencari bentuk yang tepat untuk pendidikan teknisi industri. Saat itu, pertumbuhan ekonomi di Indonesia sedang baik dengan tingkat pertumbuhan 7% per tahun, sehingga diperlukan  banyak tenaga kerja untuk mengisi kekosongan di dunia kerja. Akan tetapi  pendidikan kejuruan hanya mampu mengisi 50% saja kebutuhan. Dan keterlibatan dunia industri di pendidikan kejuruan belum melembaga secara formal. Pendidikan vokasi pada masa itu terdiri dari vokaasi bidang industri (STMP, SMEA Pembina, SMTK 4 tahun), dan juru teknik (STM-BLPT, SMEA,SMKK). Digunakan pula pendekatan kebutuhan masyarakat (untuk sekolah yang belum direhabilitasi): SMEA, SMKK,SMPS, SMM, SMIK, dan SMSR. Pada Pelita VI diperkenalkan kebijakan baru untuk pembangunan pendidikan, yang disebut “Link and Match”. Dalam pelaksanaannya diberlakukan Pendidikan Sistem Ganda di SMK.
Ketiga, periode reformasi tahun 1998 yang berlanjut dengan dilaksanakannya otonomi daerah sejak tahun 2001 hingga sekarang. Pada periode ini momentum pertumbuhan kuantitatif pendidikan kejuruan semakin meningkat. Hubungan dengan pihak industri semakin baik. Pemerintah sudah sangat menyadari pentingnya mengembangkan pendidikan teknologi dan kejuruan di Indonesia. Kita semua mengetahui bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat  besar untuk tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang sejahtera. Di samping sumberdaya alam yang kaya, Indonesia memiliki tenaga kerja dalam jumlah yang  berlimpah. Agar potensi tersebut dapat menjadi sumber daya pembaruan, yang diperlukan pendidikan yang bermutu dan relevan. Begitu pula dengan Diklat Kejuruan dituntut untuk mampu meningkatkan kompetensi generasi muda Indonesia yang akan memasuki dunia kerja, melatih ulang dan meningkatkan kompetensi mereka yang sudah bekerja, selaras dengan perkembangan teknologi dan perubahan pasar kerja.
D.    Landasan Filosofi Pendidikan Kejuruan
Dalam pendidikan kejuruan ada dua aliran filsafat yang sesuai dengan keberadaanya, yaitu eksistensialisme dan esensialisme. Eksistensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengembangkan eksistensi manusia untuk bertahan hidup, bukan merampasnya. Sedangkan esensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengaitkan dirinya dengan sistem-sistem yang lain seperti ekonomi, politik, sosial, ketenaga kerjaan serta religi dan moral.
Landasan filosofis yang mendasari pendidikan kejuruan, harus mampu menjawab dua pertanyaan : pertama, Apa yang harus diajarkan? dan kedua, Bagaimana harus mengajarkan? (Calhoun dan Finch, 1982). Chalhoun dan Finch menegaskan bahwa sumber prinsip-prinsip fundamental pendidikan kejuruan adalah individu dan perannya dalam suatu masyarakat demokratik, serta peran pendidikan dalam transmisi standar sosial.
Secara umum juga dikatakan bahwa filsafat pendidikan merupakan rohani atau spiritual sistem pendidikan nasional. Pendidikan kejuruan yang berkembang telah banyak ditandai dengan pesatnya perkembangan fasilitas fisik untuk melayani kebutuhan banyak orang dalam lingkup pendidikan kejuruan yang makin luas.
Filosofi memandang pendidikan kejuruan sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas penyiapan orang untuk bekerja atau mandiri, maka menuntut adanya jenis pendidikan yang dapat menyediakan berbagai alternatif pilihan itu, dan untuk hal tersebut yang paling tepat adalah pendidikan kejuruan itu sendiri. Pernyataan Hornby yang dikutip Soeharto (1988) mengatakan bahwa filosofi adalah mempelajari berbagai prinsip yang mendasari aksi dan tinggkah laku manusia. Miller (1986, 3) menyatakan bahwa: phylosphys defined as a conceptual frame work for synthesis and evaluation that represents a system of values to serve as a basis for making decisions that projects vocation’s future.
Secara khusus filosofi pendidikan kejuruan menurut Miller (1986) mempunyai tiga elemen pokok, yaitu: nature of reality, truth, and value. Sehingga falsafah pendidikan kejuruan merupakan artikulasi sebagai dasar asumsi yang meliputi kenyataan, kebenaran dan tata nilai. Pertama, landasan falsafah memandang adanya ketentuan-ketentuan yang diperlukan oleh peserta didik dan strategi apa yang sesuai dengan kebutuhan anak didik. Kedua, asumsi tentang perwujudan atau kenyataan tentang kebenaran untuk memeberikan tuntunan dalam membentuk kurikulum pendidikan kejuruan. Ketiga, kemudian dengan materi yang telah diyakini kebenaran sesuai dengan falsafahnya, lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pengajaran dengan benar, dan falsafah dapat memberikan kepercayaan secara penuh dalam kebenaran pengetahuan yang diberikan.
Charles Prosser dalam Vocational Education in Democracy (1949) yang dikutip oleh William G. Camp dan John H. Hillison (1984, 15-16) memberikan 16 butir dalil sebagai falsafah pendidikan kejuruan yaitu:
  1. Pendidikan kejuruan akan efisien apabila disediakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi nyata dimana lulusan akan bekerja.
  2. Latihan kejuruan akan efektif apabila diberikan tugas atau program seusai dengan apa yang dikerjakan kelak. Demikian pula fasilitas atau peralatan beserta proses kerja dan operasionalnya dibuat sama dengan kondisi nyata nantinya.
  3. Pendidikan kejuruan akan efektif bilmana latihan dan tugas yang diberikan secara langsung dan spesifik (dalam arti mengerjakan benda kerja sesungguhnya, bukan sekedar tiruan).
  4. Pendidikan kejuruan akan efektif bilamana dalam latihan kerja atau dalam pengerjaan tugas sudah dibiasakan pada kondisi nyata nantinya.
  5. Pendidikan kejuran akan efektif bilamana program-program yang disediakan adalah banyak dan bervariasi meliputi semua profesi serta mampu dimanfaatkan atau ditempuh oleh peserta didik.
  6. Latihan kejuruan akan efektif apabila diberikan secara berulang kali hingga diperoleh penguasaan yang memadai bagi peserta didik.
  7. Pendidikan kejuruan akan efektif bila para guru dan instrukturnya berpengalaman dan mampu mentransfer kepada peserta didik.
  8. Pendidikan kejuruan akan efektif bilamana mampu memberikan bekal kemampuan minimal yang dibutuhkan dunia kerja (sebagai standar minimal profesi), sehingga mudah adaptif dan mudah pengembangannya.
  9. Pendidikan kejuruan akan efektif apabila memperhatikan kondisi pasar kerja.
  10. Proses pemantapan belajar dan latihan peserta didik dalam pendidikan kejuruan akan efektif apabila diberikan secara proporsional.
  11. Sumber data yang dipergunakan untuk menentukan program pendidikan didasarkan atas pengalaman nyata pekerjaan di lapangan.
  12. Pendidikan kejuruan membeikan program tertentu yang mendasar sebagai dasar kejuruannya serta program lain sebagai pengayaan atau pengembangannnya.
  13. Pendidikan kejuruan akan efisien apabila sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan SDM untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja tertentu dan dalam waktu tertentu.
  14. Pendidikan kejuruan dapat dirasakan manfaatnya secara sosial kemasyarakatan termasuk memperhatikan hubungan kemanusiaan dan hubungan dengan masyarakat luar dunia pendidikan.
  15. Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien apabila bersifat fleksibel dan tidak bersifat kaku.
  16. Walaupun pendidikan kejuruan telah diusahakan dengan biaya investasi semaksimal mungkin, nmaun apabila sampai dalam batas minimal tersebut tidak efektif, maka lebih baik penyelenggaraan pendidikan kejuruan dibatalkan.
Berdasarkan falsafah pendidikan kejuruan yang diuraikan di atas, khususnya dari Charles Prosser dapat diasumsikan bahwa 16 butir falsafah tersebut juga sekaligus kriteria dasar yang sagat esensial dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Maksudnya dalah pendidikan kejuruan akan dikatakan dengan klasifikasi baik apabila mampu memenuhi 16 kriteria falsafah pendidikan kejuruan tersebut.  Secara ringkas dari 16 butir falsafah pendidikan kejuruan dapat diringkas ke dalam 16 butir kriteria ideal pendidikan kejuruan yang harus dipenuhi, yaitu: (1) lingkungan belajar; (2) program dan fasilitas/peralatan; (3) praktek langsung; (4) budaya kerja; (5) kualitas input; (6) praktek yang berulangkali; (7) tenaga pendidik yang berpengalaman; (8) kemampuan minimal lulusan; (9) sesuai pasar kerja; (10) proporsi praktek; (11) sumber data program dari pengalaman; (12) program dasar kejuruan dan lanjut; (13) kebutuhan tertentu dan waktu tertentu; (14) hubungan dengan masyarakat; (15) administrasi fleksibel; (16) biaya pendidikan.
Sedangkan Oemar Hamalik (1990) secara tegas memberikan gambaran tentang falsafah pendidikan kejuruan dapat dirangkum ke dalam enam hal yaitu:
1.      Pekerjaan yang dipilih individu harus berdasarkan pada orientasi individu itu sendiri, misalnya bakat, minat, kemapuan, dan sebagainya.
2.      Beberapa pekerjaan yang ditawarkan meliputi semua aspek kehidupan.
3.      Setiap individu harus mendapatkan kesepatan untuk memilih jenis pekerjaan yang cocok dengan orientasi dan kesempatan kerja yang sama.
4.      Individu perlu mendapat dorongan membangun masyarakartnya, berdasarkan pengetahuan, sklill, dan kesempatan kerja yang ada.
5.      Sumber-sumber pendidikan harus dapat mengembangkan sumber daya manusia, menjadi individu yang mampu membantu inidividu lainnya, sebagai pemimpin dan pembangun.
6.      Alokasi sumber-sumber harus merefleksi kebutuhan manusia.

Secara filosofis, penyusunan kurikulum SMK perlu mempertimbangkan perkembangan psikologis peserta didik dan perkembangan atau kondisi sosial budaya masyarakat.
a.       Perkembangan psikologis peserta didik
     Manusia, secara umum mengalami perkembangan psikologis sesuai dengan pertambahan usia dan berbagai faktor lainnya; yaitu latar belakang pendidikan, ekonomi keluarga, dan lingkungan pergaulan, yang mengkibatkan perbedaan dalam dimensi fisik, intelektual, emosional, dan spiritual. Pada kurun usia peserta didik di SMK, mereka memiliki kecenderungan untuk mencari identitas atau jati diri. Fondasi kejiwaan yang kuat diperlukan peserta didik agar berani menghadapi, mampu beradaptasi dan mengatasi berbagai masalah kehidupan, baik kehidupan profesional maupun kehidupan keseharian, yang selalu berubah bentuk dan jenisnya serta meningkatkan diri dengan mengikuti pendidikan yang lebih tinggi.
b.        Kondisi sosial budaya
     Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan yang diterima dari lingkungan keluarga (informal), diserap dari masyarakat (nonformal), maupun yang diperoleh dari sekolah (formal) akan menyatu dalam diri peserta didik, menjadi satu kesatuan yang utuh, saling mengisi dan diharapkan dapat saling memperkaya secara positif.
     Peserta didik SMK berasal dari anggota berbagai lingkungan msyarakat yang memiliki budaya, tata nilai, dan kondisi sosial yang berbeda. Pendidikan kejuruan mempertimbangkan kondisi sosial, maka segala upaya yang dilakukan harus selalu berpegang teguh pada keharmonisan hubungan antar sesama individu dalam masyarakat luas yang dilandasi dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur, serta keharmonisan antar sistem pendidikan dengan sosial budaya.


E.     Dimensi Ekonomi Pendidikan Kejuruan
Menurut sejarah, pengembangan dan ketersediaan dari pendidikan kejuruan, sebagai sumber dari penyedia tenaga kerja, telah menyertai pertumbuhan ekonomi. Di bawah tenaga kerja yang berat/lebat menuntut pada ujung abad yang kedelapanbelas, bangsa menghadapi suatu kekurangan yang serius tentang tenaga terampil. Gauntry yang telah gagal tergantung pada Imigran yang Eropa, [siapa] yang telah membawa dengan suatu latar belakang di (dalam) daerah angin pasat yang trampil. Sekarang baru arus imigran  sedang mengurangi, dan bangsa kekurangan suatu sistem masa magang yang cukup untuk pelatihan para pekerja.
Salah satu basis yang mendasari pendidikan kejuruan adalah basis ekonomi, yakni kebijakan mengalokasikan sumber daya manusia sesuai dengan pekerjaan yang terdapat dalam struktur masyarakat dinilai dari pemikiran ekonomi atau justifikasinya dari segi ekonomi. Misalnya dilihat dari efisiensinya,unit biayanya, dan nilai balikan atau imbal jasa (rate of return).
Hubungan dimensi ekonomi dengan pendidikan kejuruan secara konseptual dapat dijelaskan dari kerangka investasi dan nilai balikan (value of return) dari hasil pendidikan kejuruan. Dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan, baik swasta maupun pemerintah semestinya pendidikan kejuruan memiliki konsekuensi investasi lebih besar daripada pendidikan umum. Di samping itu, hasil pendidikan kejuruan seharusnya memiliki peluang tingkat balikan (rate of return) lebih cepat dibandingkan dengan pendidikan umum. Kondisi tersebut dimungkinkan karena tujuan dan isi pendidikan kejuruan dirancang sejalan dengan perkembangan masyarakat, baik menyangkut tugas-tugas pekerjaan maupun pengembangan karir peserta didik.
1.      Peran Pendidikan dalam Perkembangan Ekonomi
Peranan pendidikan sangat dibutuhkan dalam memacu pertumbuhan ekonomi, terutama dalam mengahadapi globalisasi yang penuh dengan tantangan. Banyak ahli ekonomi yang beranggapan bahwa investasi pendidikan mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan investasi modal. Jika melihat fenomena negara-negara industri maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat yang memberikan penekanan yang kuat terhadap pentingnya pendidikan, diyakini bahwa pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan semata, tetapi mampu memberikan konstribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknisekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya, pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan orang yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu, salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup.
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa  jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan, sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi.
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya, pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.
Kontribusi pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi terjadi melalui kemampuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang ada. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh investasi modal, tetapi juga tenaga kerja yang memiliki fleksibilitas dalam menguasai keterampilan baru untuk melaksanakan pekerjaan baru, sejalan dengan perubahan struktur ekonomi dan lapangan kerja (The 18 World Bank, 1991). Sementara itu, Hicks (1991) dengan menggunakan data dari Bank Dunia, menyimpulkan bahwa negara-negara dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat income yang lebih tinggi pula.
Hicks (1991) menjelaskan bagaimana memahami kontribusi pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi, dengan cara mengetahui sebab-sebab pertumbuhan serta proses pertumbuhan itu sendiri. Menurut Hicks, para ahli ekomomi mengidentifikasikan tiga faktor produksi, yaitu lahan, tenaga kerja, dan modal. Dalam proses pertumbuhan ekonomi, lahan diasumsikan tidak mengalami perubahan. Sehingga, dua faktor kunci dalam pertumbuhan ekonomi adalah tenaga kerja dan modal.
2.      Pendidikan Kejuruan Untuk Menciptkan Tenaga Kerja Produktif
Pemenuhan tenaga kerja yang produktif dapat dilakukan dengan pendidikan ketenagakerjaan. Pendidikan ketenagakerjaan non formal dan informal dilakukan pada Balai Latihan Kerja (BLK), Community Centre (CC), lembaga latihan kerja, kursus latihan kerja, dll. Sedangkan pendidikan ketenagakerjaan secara formal umumnya dilakukan pada jenjang pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi dengan jenis pendidikan kejuruan, vokasi, professional dan akademik. (UUSPN no 20 Tahun 2003).
Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu (UU No. 13 tahun 2003). Arti pendidikan kejuruan lebih spesifik dijelaskan dalam peraturan pemerintah (PP) No. 29 tahun 1990, yaitu pendidikan pada jenjang menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 15 diuraikan bahwa SMK sebagai bentuk satuan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.
Pendidikan kejuruan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendidikan umum, baik ditinjau dari kriteria pendidikan, substansi pelajaran, maupun lulusannya. Kriteria yang melekat pada sistem pendidikan kejuruan menurut Finch dan Crunkilton (1984: 12-13) antara lain (1) orientasi pendidikan dan pelatihan; (2) justifikasi untuk eksistensi dan legitimasi; (3) fokus pada isi kurikulum; (4) kriteria keberhasilan pembelajaran; (5) kepekaan terhadap perkembangan masyarakat; dan (6) hubungan kerjasama dengan masyarakat. Nolker (1983), menyatakan bahwa dalam memilih substansi pelajaran, pendidikan kejuruan harus selalu mengikuti perkembangan IPTEK, kebutuhan masyarakat, kebutuhan individu, dan lapangan kerja.
Pemerintah terus mendorong lulusan SLTP untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan harapan mereka dapat menjadi lulusan yang terampil dan siap kerja. Lulusan yang terampil dan produktif sangat dibutuhkan di dunia industri yang saat ini menguasai sektor ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa keunggulan industri di suatu negara ditentukan oleh kualitas tenaga terampil yang terlibat langsung dalam proses produksi. Beberapa alasan mengapa diperlukannya tenaga terampil sebagai penopang keunggulan industri adalah: (1) tenaga terampil adalah orang yang terlibat langsung dalam proses produksi barang maupun jasa; (2) tenaga terampil sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan industri di suatu negara; (3) persaingan global berkembang semakin ketat dan tajam, tenaga terampil adalah faktor keunggulan menghadapi persaingan global; (4) kemajuan teknologi adalah faktor penting dalam meningkatkan keunggulan, faktor keunggulan ini tergantung pada tenaga terampil yang menguasai dan mengaplikasikannya; (5) orang yang memiliki keterampilan memiliki peluang tinggi untuk bekerja dan produktif, semakin banyak suatu negara mempunyai tenaga terampil dan produktif  maka semakin kuat pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan; dan (6) semakin banyak negara mempunyai tenaga tidak terampil, maka semakin banyak kemungkinan pengangguran yang akan menjadi beban ekonomi negara yang bersangkutan (Djojonegoro, 1998).
Pendidikan kejuruan merupakan upaya mewujudkan peserta didik menjadi manusia produktif, untuk mengisi kebutuhan terhadap peran-peran yang berkaitan dengan peningkatan nilai tambah ekonomi masyarakat. Dalam kerangka ini, dapat dikatakan bahwa lulusan pendidikan kejuruan seharusnya memiliki nilai ekonomi lebih cepat dibandingkan pendidikan umum.
Pilihan alternatif antara memasuki pendidikan umum dan pendidikan kejuruan serta kaitannya dengan kemanfaatan ekonomis bagi masyarakat luas, menjadi bahasan yang menyangkut kebijakan pendidikan di tingkat menengah. Demikian pulakaitannya dengan investasi yang cukup besar untuk mendanai pendidikan kejuruan dibanding pendidikan umum, sering menjadi titik lemah dimensi ekonomi pendidikan kejuruan.
Pekerja yang dilatih;terlatih telah diperlukan untuk beroperasi dengan cepat bertumbuh jumlah kebun dan pabrik-pabrik. yang berhadapan dengan Suatu kekurangan tenaga kerja, industri dan pertanian, dua segmen yang paling besar dari ekonomi, menuntut program dari latihan kejuruan di orang banyak/masyarakat sekolah menengah. Gagasan di mana pendidikan kejuruan harus tersedia persediaan tenaga kerja terpaksa dari segmen yang tertentu dari ekonomi menjadi ditempelkan di hukum dengan jalan lintasan dari Smith-Hughes Bertindaklah, dan itulah yang tetap berlaku di (dalam) perundang-undangan yang kejuruan sampai 1963.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian mengenai peran pendidikan dalam pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa investasi di bidang pendidikan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi, seperti yang telah disimpulkan oleh Boediono dan McMahon (2001). Joesoef, J.R, dkk (2007) dalam jurnalnya yang berjudul“Peran SMK dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Sebuah Analisis Makroekonomi” menyatakan bahwa SMK berperan positif dalam pertumbuhan ekonomi daerah. Peran ini dapat dilacak dari tiga hal yang saling berurutan yaitu: (1) preferensi masyarakat terhadap SMK, (2) kapasitas SMK bagi lulusan SMP, dan (3) kemampuan SMK dalam mencetak lulusan yang berkualitas. Senada dengan hasil penelitian sebelumnya, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Ke-juruan (2008) melakukan penelitian yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara rasio siswa SMK dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain itu, hasil penelitiannya juga menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara rasio siswa SMK dan laju pertumbuhan ekonomi.
            Berdasarkan pemaparan di atas, jelaslah bahwa pendidikan vokasi memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Selanjutnya, bagaimana cara memaksimalkan kontribusi SMK dalam pembangunan ekonomi?. Menurut Slamet, P.H (2012) upaya-upaya yang dapat memaksimalkan kontribusi  pendidikan kejuruan untuk pembangunan ekonomi dapat dilakukan dengan 4 cara, yaitu: menawarkan pendidikan kejuruan berdasarkan karakteristik Indonesia,  penguatan link and match dengan dunia kerja, mengintegrasikansoft skill ke dalam pembelajaran, dan menerapkan pendidikan kewirausahaan.
Pertama, menawarkan pendidikan kejuruan berdasarkan karakteristik Indonesia. Ilmu-ilmu yang diajarkan kepada peserta didik pendidikan vokasi semestinya ilmu-ilmu yang cocok untuk memfasilitasi pengembangan peserta didik agar menjadi manusia seutuhnya dan ilmu-ilmu yang sesuai dengan karakteristik Indonesia sebagai-mana disebut sebelumnya. Keduanya sama-sama diperlukan dan jangan sampai terpeleset mengorbankan salah satu. Mengorbankan pengembang-an eksistensi peserta didik berarti men-dehumanisasi manusia dan mengembangkan peserta didik yang tidak ada keselarannya dengan kebutuhan masyarakat, khususnya dunia kerja, akan membuat pendidikan vokasi terisolasi dan terlepaskan dari kait-annya dengan masyarakat, terutama dengan dunia kerja. Jika ini terjadi, maka pendidikan vokasi tidak ber-peran sama sekali terhadap pembangunan masyarakat.
Kedua, Memperkuat kemampuan soft skills  peserta didik pendidikan vokasi melalui berbagai ragam cara. Secara matematis, soft skills = kualitas intrapersonal + keterampilan interpersonal. Kualitas intrapersonal adalah kuali-tas batiniah (kualitas rohaniah) ma-nusia yang  bersumber dari dalam lu-buk hati manusia yang dimensi-di-mensinya meliputi antara lain kerendahan hati, harga diri, integritas, tang-gung jawab, komitmen, motivasi diri, rasa keingintahuan, menyukai apa yang belum diketahui (umumnya manusia menyukai apa yang sudah diketahui), kejujuran, kerajinan, kasih sayang (cinta sesama), disiplin diri, kontrol diri, kesadaran diri, dapat di-percaya, dan  berjiwa kewirausahaan dimana yang terakhir ini umumnya bersumber dari  pendidikan yang me-merdekakan manusia sehingga tidak tertekan dan menjadi kreatif yang aki-batnya menjadi inovatif dan mampu membentuk jiwa kewirausahaan ma-nusia. Tentu saja masih banyak di-mensi kualitas intrapersonal yang lain, tetapi terlalu banyak untuk dise-but satu per satu.
Keterampilan interpersonal adalah keterampilan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia yang dimensi-dimensinya meliputi antara lain  bertanggung jawab atas semua perbuatannya, si-kap hormat/respek kepada orang lain, perdamaian, kecintaan kepada sesama, komunikasi yang mengenak-kan, kepemimpinan, kerjasama/kerja kelompok, kehalusan berbudi, sosia-bilitas, solidaritas, toleransi/tenggang rasa, bijaksana, beradap, berani ber-buat benar meskipun tidak populer, demokratis, sikap adil, sikap tertib, dan masih banyak dimensi-dimensi keterampilan interpersonal lainnya yang terlalu banyak untuk disebut satu per satu. Istilah soft skills sangat erat kaitannya dengan istilah-istilah lain, seperti karakter, akhlak, budi pekerti, kecerdasan emosi, nilai-nilai kehidupan (living values), moralitas, personality, dan employability skills bagi yang sudah bekerja. Sepanjang berurusan dengan hubungan antarma-nusia yang dilandasi oleh humanitas, itu disebut soft skills.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, yakni melalui kemampuan untuk menghasilkan SDM atau tenaga kerja yang terampil dan produktif sesuai tuntutan era globalisasi.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar